GUNUNG SELOK DAN SRANDIL
GUNUNG SELOK & SRANDIL TEMPAT PESUGIHAN?
Isu yang
berkembang di kalangan ritualis adalah apabila melakukan ritual ke Gunung
Srandil ataupun Gunung Selok, dalam penuh keberuntungan maka ia akan segera
kaya (sugih). Isu demikian menurut penulis adalah isu yang sama sekali tidak
tepat dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kenyataannya. Gunung Srandil dan
Selok bukanlah tempat untuk menjadikan kaya raya, dan Gunung Srandil dan Selok
juga bukan tempat bersarangnya jalan pintas untuk menaikkan tahta, untuk mewujudkan
semua keinginan, dan bukan tempat untuk mencari hal-hal yang mengingkari garis
hidup (kodrat).
Biasanya,
ketika seseorang terdesak dengan permasalahan hidup dan beranggapan sudah tidak
mampu lagi untuk menghadapi, maka ia akan mencari informasi tentang
tempat-tempat ritual yang dapat memecahkan masalahnya. Atas provokasi
pihak-pihak yang tidak mempunyai dasar real (dasar yang sesungguhnya) dan hanya
untuk mencari keuntungannya saja, ia akan terpengaruh dengan ungkapan –
ungkapan yang bahwasanya setelah
si A ke sini (ke Gunung Srandil/ Selok), nyatanya ia jadi pejabat; setelah si B
ke sini, sekarang usahanya berkembang pesat; setelah si C ke sini, semua
hutangnya langsung terbayar; dan
sebagainya.
Ungkapan-ungkapan
demikian sungguh hanya ungkapan yang dibesar-besarkan dan tidak dapat
dibenarkan. Mengapa? Sebab, dengan ungkapan-ungkapan seperti itu, maka
spiritual yang sesungguhnya di Gunung Srandil dan Selok akan terkikis dan
tergantikan dengan spiritual yang tidak berbobot kemuliaan hidup. Lalu, yang dapat
terjadi adalah pola Spiritual Jawa, bahkan Budaya Adiluhung Jawa sekalipun akan
dikenal sebagai spiritual dan budaya yang tidak sesuai kehendak Tuhan. Apakah
anda rela jika budaya kita sendiri dikatakan demikian? Sungguh, setahu kami
Budaya Adiluhung Jawa adalah budaya yang menyimpan nilai-nilai luhur (tinggi),
penuh kemuliaan, dan satu-satunya budaya di dunia yang mengulas tentang kasampurnan.
Maka dari
itu, berdasarkan kepada penghayatan atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, penulis
pun menyatakan bahwa sesungguhnya Gunung Srandil dan Selok bukanlah tempat
kemusyrikan. Sebab, Gunung Srandil dan Selok sesungguhnya adalah tempat
penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang terbuka bagi siapa saja yang mau
melaksanakannya tanpa memandang suku, ras, atau paham ketuhanannya (agamanya).
Hal-hal
mengenai keberuntungan yang didapatkan setelah ritual di Gunung Srandil atau
pun Selok adalah tergantung tingkat kekhusyukan dalam berdoanya manusia itu
sendiri. Karena tidak jarang pula yang setelah datang ke Gunung Srandil dan
Selok maka kondisinya tetap saja bahkan cenderung memburuk. Yang jelas, tingkat
kesuksesan harta seseorang tidak ada kaitannya dengan Gunung Srandil dan Selok.
Jangan sampai jalan hidup kita jauh dari kehendak Tuhan hanya karena niat hidup
yang tidak sesuai dengan jalan yang dikehendaki Tuhan.
Orang-orang dahulu (terutama Para Pemimpin Nusantara, atau orang-orang khusus yang terkodrat), dalam ritual di Gunung Srandil dan Selok tidaklah untuk mencari jabatan dan tidak pula untuk mencari kekayaan dan mereka pun bukan berniat untuk mewujudkan semua keinginannya dengan jalan ritual di Gunung Srandil dan Selok. Justru orang-orang terdahulu adalah orang-orang yang penuh kesederhanaan dan setiap waktunya selalu dimanfaatkan untuk memikirkan hajat hidup orang banyak. Beliau-beliau tersebut bisa dikatakan adalah golongan orang-orang yang sudah tahu akan apa yang terjadi pada dirinya. Sedangkan ritualnya, beliau hanya menepati atas apa yang disarankan dan dianjurkan padanya serta atas dasar petunjuk yang real
Gunung Selok, Tempat Spiritual Pemimpin Nusantara
Siapa si yang tidak tahu Gunung
Selok pada era 80-an? Hampir semua masyarakat Indonesia mengetahuinya walau
hanya sebatas nama. Ya, karena pada saat itu, di situlah pemimpin negara kita
melakukan kegiatan spiritual. Bahkan sebenarnya, Bung Karno pun dulu menerima
ilham/ wahyu untuk Pancasila juga di Gunung Selok. Terletak di tepi Pantai
Selatan Kabupaten Cilacap, sepintas Gunung ini seperti bukit biasa. Namun,
ternyata di dalamnya dan di sekitarnya terdapat banyak panepen dan petilasan
yang sering digunakan untuk meditasi/semedi/ritual. Yang perlu kita ketahui
adalah bahwasanya Gunung Selok maupun Gunung Srandil (sebelah timur Gn. Selok)
adalah bukan tempat kemusyrikan. Kita harus maksud bahwa yang musyrik tentunya
bukan gunungnya, yang musyrik bukan goanya, yang musyrik bukan batunya, tetapi
niat hati kita masing-masing yang ingin beritual atau sekedar berkunjung ke
Gunung Selok ini.
Mengulas Gunung selok, tentu kita setidaknya
mengetahui sekilas mitosnya. Berdasarkan buku "Gunung Srandil dan Selok
tersirat Sang Pamon Nusantara" karya Sidik Purnama Negara, berbicara
Gunung Selok sama dengan berbicara kehidupan yang bisa dilihat maupun yang tak
terlihat. Dimana dalam kepercayaan spiritual orang jawa, Tuhan pun menciptakan
dewa. Dimana asal muasalnya dewa adalah manusia yang menyalahi kodrat dimana ia
selalu ingin hidup di dunia ini. Namun ternyata Tuhan mengabulkannnya dalam
bentuk dimensi lain yang berbeda dari manusia normal Dewa ditempatkan di Puncak
Hima-Himalaya. Sedangkan kewenangannya dilarang mencampuri urusan alam dunia,
kecuali Dewa-dewa terkhusus. Berkaitan dengan mitos Gunung Selok, sangat erat
kaitannya dengan uraian dan ungkapan sejarah diatas. Sejarah menceritakan, pada
waktu di alam dunia ini masih zaman kenabian, khususnya pada masa kepemimpinan
Nabi Musa As, pernah terjadi penyimpangan batas-batas kewenangan dari alam
kadewataan. Pemimpin para dewa (Betara Guru) turut campur tangan dengan alam
dunia atau alam manusia. Betara Guru menitis (menyatu ke aura tubuh) kepada
manusia di belahan Negeri Mesir yang terkenal dengan Raja Fir’aun. Karena
titisan oleh rajanya para dewa, maka Raja Fir’aun punya kedigdayaan dan kesaktian
yang luar biasa dengan kedigdayaan dan kesaktian yang luar biasa membuat Raja
Fir’aun menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa, dan akhirnya Sang Raja mengakui Tuhan
yang wajib disembah.Raja Fir’aun ditaklukan dengan tongkat mukjizat Nabi,
sedangkan Betara Guru dan seluruh para Dewa diusir dari Kahyangan Hima-himalaya
menuju Pulau Dawa (Pulau Panjang, sebutan Pulau Sumatera&Pulau Jawa sebelum
Krakatau meletus). Karena harus beradaptasi dengan tempat yang baru di Pulau
Dawa yang belum pernah ada penghuninya. Itulah akibat dari tindakan yang
melanggar batas-batas kewenangan hidup (hak hidup) pemberian Tuhan. Setelah
beberapa waktu menempati Pulau Dawa (Jawa) dengan penuh keprihatinan, para Dewa
mulai membangun kahyangan baru. Kahyangan tersebut dinamakan Kahyangan
Junggring Saloka atau Junggring Seloka.
Nama tersebut sesuai dengan keadaan para dewa yang
dihadapkan dengan teka-teki kehidupan. Walau para dewa telah bertempat di
kahyangan baru, tetap saja merasa gelisah, sebab telah merasa mengingkari
kodrat dan melanggar aturan Tuhan. Untuk itu para dewa tidak henti-hentinya
bertobat, agar segera diampuni segala kekeliruannya.
Tuhan memang Maha Pengasih dan
Penyayang serta penuh dengan ampunan. Pada saat yang telah ditentukan, para
dewa diampuni dan diperbolehkan kembali ke Kahyangan Hima-Himalaya, serta
melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Sepeninggalan Para Dewa kembali ke
Himalaya, tempat yang dulunya dinamakan Junggring Seloka, sekarang dikenal
dengan nama Gunung Selok. Sungguh luar biasa, Gunung Selok dulunya adalah
tempat bersemayamnya para dewa, hingga sampai sekarang masih nampak
keasriannya. Beberapa pendukung dalam mitos ini, adalah banyaknya tempat ritual
di Gunung Selok, diantaranya Petilasan Sang Hyang Wisnu dan Batu Tapak Bima.
Semoga mitos ini adalah kenyataan atau minimal tidak jauh dari yang
sesungguhnya. Tujuan penulis semoga mitos ini sedikit atau sepenuhnya, akan
bisa membantu kejelasan para ritualis atau pihak lain yang membutuhkan, dengan
tidak menyimpang dari tujuan Keesaan Tuhan.
Sejarah Gunung Srandil
Goa gunung Srandil merupakan bukti sejarah yang luar
biasa di mata masyarakat Indonesia, dan juga di mata dunia. Selain keunikan dan
keindahanya, tempat ini merupakan tempat wisata yang populer. Disamping wisata
alam dan budaya juga terdapat wisata spiritual atau religius antara lain di
gunung srandil dan selok.
Gunung srandil merupakan salah satu bukit yang ada di Glempang pasir Kecamatan Adipala jarak antara obyek wisata dengan Kota Cilacap 30 Km kearah timur laut dan relatif mudah ditempuh dengan kendaraan penumpang bus umum jurusan Cilacap-Jatijajar - Kebumen atau kendaraan pribadi karena jalannya sudah beraspal dan dekat dengan jalan lintas selatan-selatan.
Gunung Srandil setiap hari dikunjungi orang untuk berziarah oleh karena tempat tersebut tidak hanya dikenal oleh masyarakat sekitar saja tetapi sampai keluar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Bali. dan Sulawesi, maka yang berkunjung tujuannya bermacam-macam. Para peziarah biasanya berkunjung atau bertapa pada Malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon pada Bulan Syura.Konon menurut cerita penghuni pertama Gunung Srandil adalah Sultan Mukhriti putra kedua dari Dewi Sari Banon Ratu Sumenep Jawa Timur.
Kedatangan Sultan itu untuk bertapa namun Sultan Mukhriti murca (menghilang) yang ada tinggal petilasannya yang terletak di sebelah timur yang di kenal dengan Embah Gusti Agung Sultan Mukhriti.
Selain itu juga ada legenda rakyat yang pertama bermukim di gunung Srandil adalah dua orang bernama Kunci Sari dan Dana Sari, mereka adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang tidak mau menyerah kepada bala tentara Belanda. Mereka melarikan diri ke Gunung Srandil untuk bersembunyi dan meninggal di sini . Makam kedua prajurit tersebut berada di sebelah timur Gunung Srandil dalam satu komplek yang dipagar keliling yang kemudian hari, Kunci Sari dikenal dengan nama Sukma Sejati
Di Gunung Srandil banyak petilasan orang-orang yang dianggap mempunyai kedigdayaan yang linuwih atau kemampuan melebihi orang lain yang dikenal sebagai tokoh- tokoh orang sakti mandraguna. Dari kemampuannya, kesaktiannya itu maka tempat-tempat yang di singgahi dianggap keramat dan disakralkan.
Adapun petilasan-petilasan yang ada di Gunung
Srandil adalah Mbah Kanjeng Gusti Agung, Nyai Dewi Tanjung Sekarsari, Kaki
semar Tunggul Sabdojati Dayo amongrogo, Juragan Dampo Awang, Kanjeng Gusti
Agung Akhmat atau Petilasan Langlang Buwana yang berada diatas bukit dan
petilasan Hyang Sukma Sejati.
sumber : http://pariwisata.cilacapkab.go.id
Mitos Gunung Srandil
Seiring dengan perkembangan jaman
saat ini, kita sering terperdaya dengan dampak-dampak tertentu. Perkembangan
suatu zaman jelas tidak akan pernah lepas dengan perkembangan imajinasi
manusia. Kita sebagai manusia, yang dikodratkan menjadi makhluk paling sempurna,
alangkah bijaksananya apabila mau berimajinasi dari A sampai Z, artinya: mulai
dari proses terjadinya alam semesta serta perobahan dari zaman ke zaman hingga
kini kita berada pada zaman yang sedang kita hadapi.Sejauh pengetahuan penulis,
mitos adalah: cerita lama yang
boleh dipercaya dan boleh tidak. Dalam karya ini, sama sekali tidak ada arus penekanan
kepercayaan, percaya atau keharusan untuk mempercayai. Menurut penulis,
kepercayaan itu telah ada dan berada jauh sebelum kita-kita terlahir ke dunia.Kepercayaan telah ada dan tertanam oleh Tuhan,
kepada setiap insan seiring dengan awal diciptakannya makhluk-makhluk Tuhan.
Kepercayaan akan selalu berkembang pada tiap-tiap insan sesuai dengan situasi
naluri yang dikehendaki Tuhan, hingga berada di lubuk-lubuk yang sangat dalam,
sampai tidak ada yang lebih dalam. Oleh sebab itu, banyak kalangan mengatakan
pada hakekatnya kepercayaan yang sesungguhnya, tidak akan pernah goyah walau
badai menerjang dan harimau menerkam. Atas dasar itulah, perkenankan penulis
mengawali pemaparan yang belum pernah terpaparkan yaitu MITOS GUNUNG SRANDIL DAN SELOK dalam Karya Buku ini.
Berbicara mengenai daya imajinasi secara lahir
batin, tentu saja kita akan mengenal beberapa bagian dari ilmu, diantaranya;
Ilmu Matematika (Ilmu Pasti), dan Ilmu Metafisika (Ilmu Tidak Pasti). Ilmu
Matematika mempelajari kepastian secara lahiriah sedangkan Ilmu Metafisika
mempelajari kepastian secara batiniah. Karena Ilmu Metafisika mempelajari kepastian
secara bantiniah, sedangkan batin adalah abstrak adanya, maka ilmu metafisika
sangat erat dengan Ketuhanan atau cenderung mempelajari tentang keagungan dan
kekuasan Tuhan, Sang Pencipta Alam. Berkaitan dengan mitosGunung Srandil,
sungguh sangat erat kaitannya dengan ilmu metafisika.
Pengetahuan mitos Gunung Srandil, tidak jauh daya imajinasi pembaca,
saya ajak mengenal kembali sejarah kerajaan MAJAPAHIT,
dari Dinasti Majapahit kita akan tahu Raja Brawijaya Ke I hingga Raja Brawijaya
Ke V atau yang terakhir. Ada, tumbuh, berkembang, berubah dan musnah, adalah
salah satu bagian dari hukum alam yang penuh kepastian. Dinasti Majapahit telah
mencatat negara kesatuan atau negara nasional ke II di nusantara setelah
kerajaan SRIWIJAYA,
kejayaan kerajaan Majapahit yaitu, pada
masa pemerintahan raja Brahwijaya Ke-3 ( Tiga ), yang dikenal dengan julukan Prabu Hayam Wuruk dengan Gelarnya : Sri Baginda Rajasa Negara. Pada saat itulah dikenal pula seorangPatih dan sekaligus panglima perangnya,
sebagai negarawan yang gagah, gigih, dan perkasa, dalam memper juangkan wilayah
serta kesejahteraan rakyatnya yaitu : PATIH
GAJAH MADA.
Patih Gajah Mada bertujuan sangat luhur, Sang Patih akan mewujudkan kesejahteraan(Keadilan Sosial),
yang sangat sejahtera (Seadil-Adilnya) di bumi nusantara khusunya dan dunia
pada umumnya. Gajah Mada sangat yakin bahwa pada saatnya nanti
Majapahit (Nusantara) akan bisa melahirkan salah satu Figur Ratu Adil. Keyakinan tersebut
tumbuh karena dilihat dari agrarisnya wilayah, sejarah nasab bangsa, serta
pembuktian-pembuktian alam mistiknya (Ghaib) yang ada di nusantara dan
telah diakui dunia di antaranya: Candi
Borobudur dan Candi Prambanan.
Tujuan mulia Gajah Mada belum terwujud, sirnalah harapannya seketika,
karena sang raja yang dibesarkan dan diagungkannya mangkat (meninggal dunia). Sebagai negarawan
yang gigih Sang Patih tetap masih mempertahankan tujuannya,
beliau tetap setia kepada negara dan rakyatnya, juga sekaligus keturunan
rajanya. Sang Patih
tidak pernah terlintas keinginan, untuk merebut tahta kerajaan. Tetapi Sang
Patih tetap sadar keadaan serta menyadari akan kodrat hidupnya yaitu: Sebagai Satria Pinandita (Satriya yang Berjiwa Pandita),
Dalam langkah-langkah ketata negaraannya Gajah
Madatetap berpijak pada yang semestinya demi teguhnya pendirian untuk
terwujudnya Figur RATU ADIL di nusantara. Sebagai bentuk pemberian
suri tauladan atau Kaca
Benggala terhadap rakyat,
bangsa dan negaranya, beliau tetap mengabdi kepada Raja-raja Majapahit yang
berikutnya hingga raja Majapahit terakhir.
Kodrat alam dalam tata
kehidupan manusia jelas-jelas tidak bisa dirobah, makin hari manusia makin tua,
makin tua dan makin lemah fisiknya. Kerajaan Majapahitpun runtuh, satu demi
satu wilayahnya memisahkan diri dari kekuasaan Majapahit. Pada masa
pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, karena tuanya usia, Gajah Mada hanya bisa
sebagai sesepuh kerajaan saja. Semenjak itulahGajah Mada Silih Asmo (ganti nama ) SABDA PALON yang mempunyai arti: Sabda = Ucapan,
Palon = Panutan.
Pada masa agama Islam masuk ke Majapahit, beliau merasa
bingung dengan paham agama yang dianutnya yaitu: BUDHA, Apalagi Putra Brawijaya
yang terakhir yaitu: Raden
Patah sebagaiPangeran (Putra Mahkota/Calon pengganti raja)
sudah masuk Islam. Disaat itulah Sabda Palon (Gajah Mada) sudah tidak berdaya
lagi. Di samping fisiknya sudah lemah, beliau juga tidak mau berontak atau
bentrok dengan keturunan gustinya (Rajanya). Sejak saat itulah kerajaan
Majapahit resmi keruntuhannya, tahta kerajaan diserahkan kepada Raden Patah. Ibu kota kerajan
di pindah ke Demak, nama kerajaanpun diganti DEMAK BINTARA (kerajaan Islam pertama di Jawa).
Bagaimana nasib Raja Brahwijaya terakhir, Sabda Palon dan segenap pengikut
setianya?Karena mempertahankan pendirian maka mereka merasa
tersisih. Dalam suasana yang sungguh penuh keharuan, mereka mengambil
keputusan, untuk melakukan perjalanan pendekatan diri kepada Tuhan Sang
Pencipta Alam. Sungguh dengan berat hati mereka berpisah untuk mencari tempat
yang sepi dancocok, demi heningnya indra dalam mendekatkan kepada Tuhannya. Raja Brahwijaya ke Gunung
Lawu, sebagian pengikutnya ke Pulau
Bali dan Gunung Tengger (Bromo). Sesuai dengan realita,
hingga sekarang di Pulau Bali mayoritas masyarakat beragama HINDU DAN BUDHA, sedangkan di
gunung Tengger adalah Bercokol sekelompok suku SAMIN.
Terurai di bawah ini, adalah penjelasan pengakuan sahadat sebagai
penyelamat seluruh kehidupan perjalanan Ki
Sabda Palon (patih Gajah
Mada), dalam menentukan
tempat pertapaannya (Pendekatan Kepada Tuhan-Nya). Dalam hal ini sungguh sangat
terkait peran mitosnya, antara Mitos Gunung Srandil dan Mitos Gunung
Selok. Dua dalam satu mitos
inilah yang sungguh dan sesungguhnya tidak akan pernah bisa terpisahkan.
Mengapa? Karena Sabda Palon adalah sosok hidup yang tidak mau lepas atau
menyimpang apalagi ingkar dari pijakan nasab dan adab hidup, yang telah
dikodratkan sebagai Pamong
Wisnu di Nusantara. Berdasar pada itu, maka dicarilah dimana tempat wisnu berada. Hingga ketemulah di Gunung Selok. Demi
terselesainya tugas-tugas hidup setiap manusia, ada sebuah kalimat jawa, yang
menurut yang meyakini adalah suatu wasiat hidup dari Sabda Palon yaitu : Wong Urip Mono kudu Tansah Eling
Mring Purwa Duksina. Yang
artinya: Orang hidup itu harus
selalu ingat kepada awalan dan akhiran hidupnya, yang maknanya: Dulu kita tidak ada, sekarang kita
jadi ada dan kelak pasti akan sirna, Kemana? Jawabannya ada pada diri
masing-masing, yang bersumber kepada rasa
hayati.
Penulis sedikit bersumber kepada pustaka Cerita Mahabharata Paramayuga. Dalam Cerita Mahabharata
Paramayuga, diceritakan Sabda Palon (Kaki semar), dikodratkan sebagai Pamong Wisnu(Para Kesatria),
atau para pemimpin bangsa di Pulau
Dawa (Pulau Jawa).
Diceritakan pula dalam Cerita Mahabharata tersebut, Kaki Semar diturunkan dari
kahyangan Ondar Andir Bawana (Petung Liung) sebagai Pamong Wisnu keturunan Junggring Saloka (
Junggring Seloka ) hingga akhir jaman. Maka Sabda Palon menentukan tempat
bertapanya berada di sebelah timur Junggring Seloka yang sekarang lebih dikenal
dengan Gunung Srandil. Terbukti di sebelah barat Gunung
Srandil ada petilasan Sang
Hyang Wisnu, tepatnya di Padepokan Jambe
Pitu (Ampel Gading).
Sabda Palon sebelum bertapa bersumpah, yang sampai sekarang dikenal oleh
masyarakat dengan Nama Sumpah
Palapa. Sumpah Palapa
adalah sumpah kebesaran Kaki
Sabda Palon (Gajah Mada),
yang mengandung makna sangat dalam. Sumpah tersebut diambil dari Huruf Jawa yangKesebelas, Kesepuluh dan
Kesebelas pula. Dalam buku
ini penulis tidak akan menguraikan secara maksimal tentang sumpah palapa, yang
jelas Sumpah Palapa kepanjangannya adalah:
PA : Patokan (Pedoman)
LA : Lakuning (Perjalanan Berjalan Menuju
Ketenangan)
PA : Pangeran (Tuhan/Pengayoman)
yang apabila dirangkaikan
kepanjangan di atas, akan bermaksud: Pedoman
pelajaran belajar tenang menuju ke pengayoman Tuhan.
Setelah mengetahui sumpah tersebut, apabila kita mau mengindahkan dan
mengamalkan, penulis yakin akan pulih dan lebih meningkatnya kesadaran terhadap
nasib dan adab bangsa masing-masing. Dengan demikian teraihlah dambaan
masyarakat sedunia yaitu Perdamaian
Dunia. Betapa damainya dunia, apabila perdamainan dunia terwujudkan. Itulah
tanggungan kita yang dicipta
paling mulia oleh Tuhan, agar
memuliakan alam. Mari kita gunakan jeratan
tali asih antar sesama dan
antar bangsa. Hubungan tali asih adalah jalan jembatan emasnya. Menitilah
dengan penuh keberhati-hatian.Peganglah tongkat rasa dan perasaan.
Telitilah kembali pola-pola pijakan dan kebijakan yang mengarah ke kebajikan,
dimana kebajikan adalah satu-satunya sarana
kemuliaan.
Kembali kepada pokok materi mitos Gunung Srandil, jelaslah bahwa di Gunung Srandil tempat
bersemayamnya Sang Pamong Nusantara dan bercokolnya Sumpah Palapa.
Memperkuat persyaratan ini, adalah kenyataan bahwa sejak berdirinya NKRI, siapapun pemimpin (di Nusantara)
bila tidak melakukan penghayatan ke Srandil biasanya tidak lama dan banyak mara
bahayanya.
Ketabahan dan keteguhan Sang Pamong Nusantara yang hidup hanya sebagai
Kawula (pengabdi/rakyat kecil) adalah cambuk
suri tauladan dan sekaligus
kaca benggala bagi setiap kita, dalam kehidupan antara sesama, antar bangsa dan
antar negara. Mengapa? karena setidaknya akan terkupaslah beberapa makna hidup
diantaranya: Hidup adalah
kesadaran, maka dari itu harus tetap sadar dan menyadari serta mau
melaksanakan garis kodrat atau suratan
tangan dengan senang dan
tenang. Hidup bukan masalah maka hindarilah permasalahan dengan cara tidak
menyalah-nyalahkan (mencela), ketahuilah bahwa hidup sesungguhnya bukan urusan
dipimpin bukan jelek atau bagus, bukan kaya atau miskin tapi hidup adalah
menyelesaikan tugas sebagai makhluk
mulia, sesuai suratan
tangannya dengan jalan darma.
Banyak sekali siratan sinar damai pada sosok Sang Pamong Nusantara, hanya
sebagian penulis mengungkapkannya. Pendiriannya yang teguh untuk mewujudkan Figur Ratu Adil bukan katanya. Terbukti dengan
ditempuhnya laku tapa brata yang takaranya bukan hari, bulan atau
tahun, akan tetapi takaran zaman. Mengapa bisa takaran zaman? karena Sang
Pamong Nusantara bukan manusia biasa, tetapi Pangejo Wantahan (titisan) dari Sang Hyang Ismoyo atau Kaki
Semar (Sang Hyang Sejati).
Sebelum bertapa Sabda Palon bersabda: Ketahuilah wahai rakyat nusantara,
pada saatnya nanti setelah saya bertapa selama 78 (tujuh puluh delapan) alip/ tujuh puluh delapan windu (78 x 8 th)
atau setelah lima zaman, maka di Nusantara khususnya tanah Jawa akan muncul
figur Ratu Adil. Di
situlah tiba saatnya Jawa Bali
Madep Sawiji (kembalinya
tradisi nusantara sejati). Selain itu tiba saatnya pula nusantara menjadi Kiblating Jagad Pancering bawana (tempat suri tauladan bangsa-bangsa di
muka bumi) keadaan rakyat (manusia dan alam rayanya berikut mahluk-makhluk
lainnya) sedunia akanhangidung agung keadilan lan kemakmuran ( bernyanyi besar/ sorak soray atas kesejahteraan dan
kemakmurannya), karena telah terjabar pengakuan rasa hidup yang merata atas
keadilan Tuhannya, yang kaya tidak menganggap yang miskin pasti sengsara,
karena dunia telah diselimuti tali asih sesamanya, semoga semua ini bukan hanya
sekedar mitos, tetapi kenyataan adanya di Gunung SrandilSang Pamong
Nusantara berada, yang oleh
para ritualis dikenal dengan nama Kaki
Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga.
Sumber:
Buku Srandil & Selok Karya Sidik Purnama Negara
Pariwisata - Gunung Srandil
& Selok
SRANDIL
Disamping wisata alam dan budaya juga terdapat wisata
spiritual atau religius antara lain di gunung srandil dan selok.
Gunung srandil merupakan salah satu bukit yang ada di Glempangpasir Kecamatan Adipala jarak antara obyek wisata dengan Kota Cilacap 30 Km kearah timurlaut dan relatif mudah ditempuh dengan kendaraan penumpang bus umum jurusan Cilacap-Jatijajar-Kebumen atau kendaraan pribadi karena jalannya sudah beraspal dan dekat dengan jalan lintas selatan-selatan.
Gunung Srandil setiap hari dikunjungi orang untuk
berziarah oleh karena tempat tersebut tidak hanya dikenal oleh masyarakat
sekitar saja tetapi sampai keluar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Bali. dan
Sulawesi, maka yang berkunjung tujuannya bermacam-macam. Para peziarah biasanya
berkunjung atau bertapa pada Malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon pada Bulan
Syura.
Konon menurut cerita penghuni pertama Gunung Srandil
adalah Sultan Mukhriti putra kedua dari Dewi Sari Banon Ratu Sumenep Jawa
Timur. Kedatangan Sultan itu untuk bertapa namun Sultan Mukhriti murca
(menghilang) yang ada tinggal petilasannya yang terletak di sebelah timur yang
di kenal dengan Embah Gusti Agung Sultan Mukhriti.
Selain itu juga ada legenda rakyat yang pertama
bermukim di gunung Srandil adalah dua orang bernama Kunci Sari dan Dana Sari,
mereka adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang tidak mau menyerah kepada bala
tentara Belanda. Mereka melarikan diri ke Gunung Srandil untuk bersembunyi dan
meninggal di sini . Makam kedua prajurit tersebut berada di sebelah timur
Gunung Srandil dalam satu komplek yang dipagar keliling yang kemudian hari,
Kunci Sari dikenal dengan nama Sukma Sejati.
Di Gunung Srandil banyak petilasan orang-orang yang dianggap
mempunyai kedigdayaan yang linuwih atau kemampuan melebihi orang lain yang
dikenal sebagai tokoh- tokoh orang sakti mandraguna. Dari kemampuannya,
kesaktiannya itu maka tempat-tempat yang di singgahi dianggap keramat dan
disakralkan.
Adapun petilasan-petilasan yang ada di Gunung Srandil
adalah Mbah Kanjeng Gusti Agung, Nyai Dewi Tanjung Sekarsari, Kaki semar
Tunggul Sabdojati Dayo amongrogo, Juragan Dampo Awang, Kanjeng Gusti Agung
Akhmat atau Petilasan Langlang Buwana yang berada diatas bukit dan petilasan
Hyang Sukma Sejati.
SELOK
Gunung selok sebenarnya merupakan area hutan yang di
kelola oleh Perum Perhutani KPH Banyumas Timur . Seluas 236, 7 Ha yang
merupakan sebuah bukit yang ada di wilayah Desa Karangbenda Kecamatan Adipala
dengan ketinggian 0 sampai dengan 150 meter diatas permukaaan laut. Untuk
menuju gunung selok dapat dicapai dengan kendaraan penumpang bus atau angkutan
pedesaan atau kendaraan pribadi dari terminal Adipala.
Gunung selok merupakan wisata yang nyaman mengasyikan
dan unik, karena lokasi ini menyajikan perpaduan keindahan alam berupa hutan
bukit goa-goa alam Benteng peninggalan jepang yang konon ada 25 benteng dan
pantai laut selatan. Wisatawan yang datang berkunjung biasanya mempunyai minat
bersiarah atau ingin bersemedi di petilasan atau makam atau di goa-goa yang
ada.
Petilasan yang banyak di kunjungi dan dianggap
keramat adalah Padepokan Jambe Lima dan Padepokan Jambe Pitu. Padepokan Jambe
Lima atau Cemara Seta yang di ketemukan oleh Eyang Mara Diwangsa yaitu saudara
Patih Cakraningrat yaitu ayah kandung Cakrawerdaya Bupati Cilacap Pertama,
padepokan yang terdapat di puncak bukit sangat baik untuk bersemedi.
Menurut legenda masyarakat setempat konon Padepokan
Jambe Lima dahulu dahulu merupakan markas pendekar-pendekar sakti pengawal
bunga sakti Kembang Wijaya Kusuma yaitu sekuntum bunga lambang kebesaran
raja-ra ja Jawa dimasa lampau. Untuk mendapat bunga tersebut harus orang harus
mendapat ijin dari ketua pengawal yang bernama Kyai Jambe Lima. Kyai Jambe Lima
mempunyai empat anggota seorang diantaranya sebagai wakil ketua yaitu Pak Cilik
Sukmoyo Renggo sedang yang tiga anggota lainnya adalah Kyai Kampret Ireng
(Tunggul Wulung ), Kyai Sambung Langu (Anggaswati ) Kyai Wesi Putih (Sang Hyang
Jati ).
Alkisah suatu hari pada tahu 1676 kerajaan Mataram
jatuh ke Trunajaya. Kemudian Pangeran Adipati Anom mengangkat diri sebagai raja
menggantikan ayahnya yaitu Sunan Amangkurat I yang meninggal di Ajibarang dan
di makamkan di Tegal Arum. Adipati Anom bergelar Amangkurat II yang mengutus
seorang kepercayaannya bernama Ki Suropati untuk mencari kembang wijayakusuma
untuk mengukuhkan kedudukanya sebagai raja mataram.
Selain Adipati Anom, Pangeran Puger (adik Adipati
Anom) yang mengangkat dirinya sebagai raja Mataram mengutus tokoh sakti Ki Tambak
Yudo Selain Adipati Anom dan Pangeran Puger juga Trunojoyo yang sudah merebut
tahta kerajaan juga mengutus seorang yang bernama Gedug Gandamana untuk
mendapatkan kembang Wijayakusuma. Ketiga utusan tersebut datang dan di tolak
oleh Kyai Jambe Lima dengan alasan belum waktunya, ketiga utusan tidak mau
menerima keterangan Kyai Jambe Lima terjadi pertempuran yang menewaskan kelima
pengawal bunga tersebut termasuk tiga utusan tersebut juga tewas, sebagai
penghormatan dan peringatan maka oleh penduduk sekitar Gunung Selok dibangunlah
Padepokan Jambe Lima, dan Jambe Pitu.
Padepokan Jambe Pitu (pertapan Ampel Gading ) yang di
renovasi oleh Presiden Soeharto dan banyak di kunjungi peziarah karena dianggap
sangat keramat karena ada 3 petilasan Sang Hyang Wisnu Murti dan dua pusakanya
yaitu Kembang Wijayakusuma atau Eyang Lengkung Kusuma dan Cakra Baskara atau
Eyang Lengkung Cuwiri.
Selain Padepokan Jambe Lima dan Jambe Pitu juga masih
banyak tempat yang ramai dikunjungi peziarah pada hari hari tertentu seperti
hari Jumat Kliwon dan hari Selasa Kliwon dan di bulan Syura yaitu Goa Rahayu,
Goa Naga Raja, Goa Bolong, Goa Paku Waja , Goa Putih, Goa Grujugan, Goa Tikus,
Goa Lawa, dan Kaendran serta makam Kyai Sumolangu yang ada diatas benteng
peninggalan jepang .
Beberapa Gua dijelaskan sebagai berikut:
GOA RAHAYU DAN GOA RATU
Goa yang terletak di kaki Gunung Selok sebelah
Selatan menghadap pantai Samudra Indonesia. Untuk menuju goa ini dapat ditempuh
dengan kendaraan pribadi atau carteran dari arah terminal Adipala ke Timur
menuju Gunung Selok kemudian ke selatan menelusuri jalan desa yang beraspal
sampai pantai selok ke arah barat, kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki atau
naik perahu menuju goa tersebut atau dari gunung selok menelusuri jalan trap
setapak menurun ke bawah menuju goa tersebut.
Kedua goa ini setiap hari dikunjungi wisatawan untuk
berziarah dengan tujuan yang beraneka ragam ada yang menginginkan pangkat,
kemuliaan, kesehatan, ingin punya jodoh, usahanya lancar dan sebagainya. Goa
yang pintu masuknya telah dibuat tertutup dengan bangunan semen didalamnya
ruangan yang petilasan cukup luas dengan ukuran 80 m2 terdapat riual. Di Goa
Rahayu ada 2 tempat ritual yaitu Dewi Kencanawati dan Dewi Suci Rahayu.
Menurut legenda Goa Rahayu adalah Raden Danang
Sutawijaya atau Panembahan Senopati pendiri Keraton Mataram saat akan membabat
alas Mentaok untuk bisa masuk dan membabat alas mentaok sebagai syarat harus
membawa tanah yang ada di dalam goa yang dekat dengan batu, dengan tanah srana
tersebut Danang Sutawijaya dapat masuk dan membabat alas Mentaok dengan selamat
( Rahayu ) sehingga goa tersebut disebut Goa Rahayu.
Sedangkan goa Ratu yang letaknya berhimpitan dengan
Goa Rahayu di dalamnya terdapat ritual Eyang Banda Yuda dan Dewi Sekar Jagat.
Goa ini konon ceritanya adalah bekas petilasan Eyang Jaring Bandayuda salah
satu pendiri Kabupaten Banyumas. Dalam persemediannya ia bertemu dengan putrid
cantik Nyi Sekar Jagat dan disarankan kalau mau membuat Kabupaten jangan
melangkahi sungai Serayu atau tepatnya di dekat pegunungan Pageralang dan
kesemuannya dilaksanakan oleh Eyang Jaring Bandayuda maka berdirilah Kabupaten
Banyumas dekat Pegunungan Pageralang.
GOA NAGARAJA
Goa Nagaraja terletak masih di kaki gunung Selok di
sebelah Barat goa Rahayu dan Goa Ratu ± 1 km ke arah barat dengan menelusuri
alur sungai. Goa Nagaraja ini bersebelahan dengan Goa Lawa (karena banyak
kelelawarnya).
GOA PAKUWAJA
Goa ini terletak di kaki Gunung Selok bagian Timur
tenggara, tempat ini banyak dikunjungi orang yang berziarah dan ada tempat
untuk sholat dan di dekatnya ada air untuk berwudlu. Menurut legenda Pakuwaja
adalah petilasan Pangeran Pakuwaja yaitu putra Mahkota Kerajaan Majapahit
terakhir, pada masa runtuhnya Majapahit beliau berkehendak perang demi
mempertahankan kerajaannya .
Disamping goa – goa tersebut masih ada goa – goa yang
lain dikunjungi para peziarah yang letaknya disebelah barat kaki Gunung Selok
yaitu Goa Sri Bolong, Goa Putih, Goa Grujugan, Untuk menuju Goa tersebut dari
depan Balai Desa Karangbenda ada jalan menuju selatan terus menelusuri jalan
perhutani sampai ke Kaindran kemudian menuju Goa Sri Bolong, Goa Putih, Goa
Grujugan disebut Goa Grujugan karena di mulut goa terdapat air yang terus
menerus mengalir dari atas kebawah.
BENTENG PENINGGALAN JEPANG
Disamping goa – goa tersebut di Gunug Selok juga
terdapat Benteng peninggalan Jepang yang konon sebagai tempat pertahanan Jepang
dan tempat pengintaian musuh yang datang dari laut. Konon ceritanya ada 24
Benteng peninggalan bala tentara Jepang namun yang masih utuh tinggal satu yang
sudah direnovasi dan di atas benteng peninggalan Jepang kea rah barat daya
terdapat makam Kyai Sumolangu yang banyak dikunjungi para peziarah dari daerah
Kebumen. Makam Kyai Sumolangu sementara ini masih ditutupi gubug dan
disekelilingnya baru dibangun pondasi keliling. Konon Kyai Sumolangu berasal
dari daerah Kebumen dan meninggal di Selok.
Layanan
informasi :
1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Cilacap Telp. 0282-534481
2. Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Wilayah Cilacap Telp. 0282-534003
email : diparta_clp@yahoo.co.id
Facebook: cilacap tourism
1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Cilacap Telp. 0282-534481
2. Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Wilayah Cilacap Telp. 0282-534003
email : diparta_clp@yahoo.co.id
Facebook: cilacap tourism
salam seking keluarga besar pangeran kalaseba
BalasHapus