Selamat Datang

MITOS NYI RORO KIDUL


MITOS NYI RORO KIDUL 

VERSI SUNDA



Salah satu kegenda yang sangat populer di masyarakat kita adalah legenda tentang Nyi Roro Kidul alias Ratu Laut Selatan. Banyak mitos yang sangat kita kenal di masyarakat kita tentang kelegendaan Ny Roro Kidul. Mulai dari mitos larangan memakai baju hijau ketika berenang di laut selatan hingga kamar keramat di sebuah hotel.
Kapan pastinya legenda Ratu Laut Selatan tersebut mulai terdengar tidak dapat kita pastikan. Bahkan telah banyak pula film yang mengangkat cerita tentang Nyai Roror Kidul ini. Termasuk mengangkat nama artis horor terkenal semacam Suzana di negeri kita ini karena memerankan tokoh ratu alam gaib itu.
Akan tetapi, legenda mengenai penguasa mistik pantai selatan mencapai puncaknya ketaika ada semcam keyakinan di kalangan penguasa keraton Mataram Islam, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, bahwa Kanjeng Ratu Kidul merupakan “istri spiritual” bagi raja-raja di kedua keraton tersebut.
Bahkan pada waktu-waktu tertentu, keraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusuma, Bantul, dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri, untuk sang Ratu. Konon Panggung Sanggabuwana yang terdapat di komplek keraton Surakarta dipercaya sebagai tempat bercengkerama sang Sunan dengan Kanjeng Ratu.
Ketika masa bercengkrama, pada saat bulan muda hingga purnama Sang Ratu tampil layaknya wanita muda dan cantik. Akan tetapi, berangsur-angsur menua dan buruk ketika bulan menuju bulan mati.
Bagi masyarakat Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki seorang pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Kadang-kadang ada juga orang yang menyebutnya Nyi Lara Kidul. Nyi Rara Kidul ini menyukai warna hijau dan  banyak yang percaya kalau dia suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau untuk dijadikan pelayan atau pasukannya.
Oleh karena itu ada larangan mengenakan pakaian hijau bagi pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, maupun Semenanjung Purwa di ujung timur.
Sementara, bagi masyarakat Sunda, Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan. Putri tersebut bunuh diri karena diusir oleh keluarganya. Dia diusir karena menderita penyakit yang membuat malu anggota keluarga.
Akan tetapi, dalam kepercayaan Jawa, tokoh yang dipercayai masyarakat Sunda tersebut dianggap bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini karena mereka percaya jika Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran.
Menurut Legenda Sunda
Meskipun dalam kepercayaan Jawa, Nyi Rara Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul. Namun, masyarakat Sunda mengenal penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan cantik yang disebut Nyi Rara Kidul sebagai Kanjeng Ratu Kidul. Berikut kisahnya menurut masyarakat Sunda:
Di masa lalu, hiduplah Dewi Kadita, anak dari Raja Munding Wangi, Raja Kerajaan Pajajaran, yang sangat cantik rupawan. Walaupun sang raja memiliki seorang putri cantik, tapi ia selalu bersedih. Hal ini karena ia lebih mengharapkan anak laki-laki. Untuk mewujudkan asanya tersebut, maka Raja pun menikahi Dewi Mutiara, sehingga ia mendapatkan putra dari perkawinan tersebut.
Akan tetapi, Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja tanpa ada penantang atas takhtanya. Ia pun berusaha menyingkirkan Dewi Kadita. Salah satu caranya adalah dengan menghadap Raja dan meminta agar sang Raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu Raja menolak. Namun, Dewi Mutiara pantang menyerah.
Keesokan harinya, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang tukang tenung. Dia meminta sang dukun meneluh Kadita, anak tirinya. Maka, karena teluh sang dukun tubuh Kadita dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal pada esok paginya. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.
Melihat penderitaan putrinya tersebut, maka Sang Raja mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar. Seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya.
Namun, masalah menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksa Raja untuk mengusir putrinya karena akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Sang Raja terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu karena beliau tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri.
Puteri yang malang itu pun pergi berkelana sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Dia melompat ke dalam air dan berenang.
Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya keajaiban pun terjadi. Bisulnya lenyap. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Bahkan dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Kini dia memiliki kuasa dalam Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Rara Kidul yang hidup selamanya.
Dalam cerita tersebut kawasan Pantai Palabuhan Ratu secara khusus dikaitkan dengan legenda ini.
Menurut Legenda Jawa
Orang  Jawa mengenal sebuah istilah “telu-teluning atunggal” yang artinya tiga sosok yang menjadi satu kekuatan. Yaitu, Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam.
Dalam sebuah tiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga karena sebuah wangsit untuk membangun sebuah keraton di sebuah hutan ‘alas mentaok” (kini Kotagede di Daerah Istimewa Yogyakarta) Panembahan Senopati dipertemukan oleh Ratu Kidul.
Ketika sedang bertapa tersebut,  menurut cerita semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Dalam perjumpaannya dengan Ratu Kidul, wanita penguasa laut selatan tersebut setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram. Bahkan dipercaya menjadi “istri spiritual” bagi Raja-raja trah Mataram Islam.
Bagi orang Jawa, pemahaman tentang penguasa laut selatan yang berkembang di masyarakat Sunda harus diluruskan. Bagi mereka  antara “Rara kidul” dengan “Ratu kidul” sangat berbeda. Dalam kepercayaan Kejawen, alam kehidupan itu terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu alam Kadewan, alam Nabi, alam Wali, alam Menungsa (Manusia), dan yang akan datang adalah alam Adil.
Menurut mitologi Jawa, Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping telu yang mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi alam lainnya. Sementara Rara Kidul merupakan Putri dari Raja Sunda yang terusir karena ulah dari ibu tirinya dan menjelma menjadi sosok penguasa setelah menceburkan diri ke laut selatan.
Oleh karena itu keduanya beda fase tahapan menurut mitologi Jawa.
Pemitosan Ratu Laut Selatan
Berbagai macam ritual dan penghormatan dilakukan orang untuk menghormati Kanjeng ratu Kidul. Di Karang Hawu, Pelabuhan Ratu misalnya, terdapat tempat petilasan (persinggahan) Ratu Pantai Selatan yang sering dikunjungi orang untuk melakukan ritual tertentu.
Komplek  tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat. Terdapat dua ruangan cukup besar dengan beberapa makam yang menurut pandangan penduduk sebagai makam Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta dan Eyang Syeh Husni Ali. Selain itu juga terpampang gambar sang penguasa Laut Selatan. Bahkan,
Penghormatan atau pemuliaan kepada Penguasa laut selatan juga terlihat di Vihara Kalyana Mitta, kelenteng di bilangan Pekojan, Jakarta Barat.
Selain itu penghormatan terhadap ratu Laut Selatan juga terlihat pada sedekah laut. Masyarakat nelayan pantai selatan Jawa, seperti pantai Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng, Pangandaran, Cilacap, Sakawayana dan sebagainya, setiap tahun melakukan sedekah laut sebagai persembahan kepada sang Ratu karena menjaga keselamatan para nelayan.
Selain itu, di saat-saat tertentu juga digelar ritual sebagai rasa terima kasih mereka terhadap sang penguasa laut selatan oelh penduduk setempat.
Bukan hanya penghormatan dan ritual yang melahirkan pemitosan terhadap Ratu Kidul. Bahkan ada semacam larangan memakai pakaian hijau ketika berenang di Pantai Selatan Jawa. Peringatan selalu diberikan kepada orang yang berkunjung ke pantai selatan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau, sehingga mereka tidak menjadi sasaran Nyai Rara Kidul yang akan mengambil mereka untuk dijadikan tentara atau pelayannya.
Pada beberapa hotel di pantai selatan Jawa dan Bali pemitosan terhadap sosol penguasa laut selatan ini bahkan nyata tergambar pada kamar yang disediakan khusus untuk Kanjeng ratu Kidul. Di antaranya, kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach.
Ketika terjadi kebakaran besar pada Januari 1993, kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar. Dengan keajaiban itu, maka setelah renovasi kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi sesaji setiap hari, tetapi tidak untuk disewakan. Kamar tersebut khusus dipersembahkan untuk Ratu Kidul.
Begitu pula halnya di Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di dalam ruangan ini terpajang beberapa lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya pelukis Basoeki Abdullah. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33 bagi Sang Kanjeng Ratu. Inilah sedikit gambaran tentang pemitosan sosok Kanjeng Ratu Kidul di masyarakat kita.



VERSI JAWA



Semua bencana di sepanjang pantai selatan pulau jawa pasti dikaitkan dengan mitos keberadaan penguasa sepanjang pantai tersebut yaitu Kanjeng Gusti Ratu Kidul, baik yang percaya maupun yang tidak. Banyak sebutan untuk penguasa selatan tersebut yaitu; Kanjeng Gusti Ratu Kidul,Nyi Roro Kidul,Nyai Ratu roro kidul dan lain-lain. Sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya sebutan yang berbeda-beda tersebut juga menggambarkan sosok yang berbeda pula, dan ada juga yang mengatakan semuanya adalah satu. Yang benar siapa, entahlah, Hanya Tuhan yang tau atau mungkin itu hanya sekedar legenda belaka??? 
Walau keberadaan Kanjeng Gusti Ratu Kidul hanya sekedar mitos atau legenda, tapi masyarakat Jawa pada umumnya sangat mempercayaai keberadaan tersebut, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Wali Perempuan satu-satunya di Pulau Jawa disamping Wali-wali lainnya.
Keraton Jawa tidak lepas dari keberadaan mitos tersebut, bahkan sangat menonjol, dibuktikan dengan adanya dari tarian sakral Bedhaya Ketawang, yang sejak Paku Buwana X naik tahta, setiap setahun sekali tarian itu dipergelarkan pada acara ulang tahun penobatan Raja,adanya Panggung Sangga Buwana.

‘Gung pra peri perayangan ejim
sumiwi Sang Sinom
Prabu Rara yekti gedhe dhewe.
(kutipan dari “Babad Nitik” )
terjemahkan:
segenap makhluk halus jin
bersembah pada Sang Ratu
yang besar tak bertara

Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro. Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.

Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.

Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).

Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedatama yang berbunyi:

Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.
terjemahkan:
Tahu akan batas samudra
Semua telah dijelajahi
Dipesona nya masuk hati
Digenggam satu menjadi
Jadilah ia merajai
Syahdan Sang Ratu Kidul
Terbang tinggi mengangkasa
Lalu datang bersembah
Kalah perbawa terhadap
Junjungan Mataram
[setubuh alamai-senyawa Illahi]

Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra, seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari, ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa dengan raja Mataram.
Ada versi lain dari masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menceritakan bahwa pada jaman kerajaan Pajajaran, terdapat seorang putri raja yang buruk rupa dan mengidap penyakit kulit bersisik sehingga bentuk dan seluruh tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena itu, Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-saudaranya karena merasa malu mempunyai saudara yang berpenyakitan seperti dia. Dengan perasaan sedih dan kecewa, sang putri kemudian bunuh diri dengan mencebur ke laut selatan.
Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.


Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul


Dengan Penembahan Senopati



Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.

Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya

Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.

Adanya perkawinan itu konon mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.

Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja Mataram ,termasuk Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati. Sejak saat itu hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah lagi sebagai suami istri , tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X selanjutnya.
Tetap menjadi sebuah misteri??? Tanya kenapa??
disadur dari beberapa sumber.





Legenda Percintaan Nyi Roro Kidul dan Raja Jawa



Raja-raja di seluruh Nusantara pernah bersinggungan dengan penguasa laut Kidul (Selatan). Ada tiga penguasa laut Selatan. Dan mereka inilah yang menjadikan raja-raja tersebut sebagai budak seks. Konon, diantara penguasa itu ada yang berasal dari titisan Dewi, dan namanya Dewi Nawangwulan.

Jauh sebelum adanya kisah Joko Tarub dan Nawangwulan, di negeri awan, yaitu negeri para Dewa-Dewi, terdapat sebuah kerajaan langit. Kerajaan langit itu dipimpin oleh seorang Ratu. Ratu itu bernama Dewi Sekarwatimara atau Dewi Naga Selatan atau Dewi Kidul. Dari namanya, Dewi Sekarwatimara berbadan setengah manusia tapi setengah ular. Dewi Sekarwatimara termasuk golongan bangsa jin.

Dewi Sekarwatimara memiliki tiga orang putri. Masing-masing memiliki sukma sejati Ular Kobra, Naga Hijau dan Ular Sanca. Ketiga putri bangsa jin itu memiliki sifat dan perwatakan yang berbeda-beda. Dewi Rara Panas atau Dewi Rara Kidul adalah Dewi yang berparas cantik dan memiliki kemiripan dengan ibunya Dewi Naga Selatan yang bersifat welas asih dan bijaksana.

Sementara Dewi Ningrum adalah ratu yang berwatak dingin dan lemah lembut, tokoh ini jarang dikenal oleh manusia. Sebab dirinya jarang muncul di dunia alam manusia.
            
Sedangkan saudara tuanya bernama Dewi Blorong. Karakter Dewi Blorong keras dan jahat. Blorong dikenal sangat digdaya dan menjadi ratu penguasa ilmu kegelapan. Dialah Dewi dari segala lelembut yang menyebarkan ilmu kekebalan, ilmu kesaktian, ilmu santet dan sebagainya. Dewi Blorong menjadi penyebab segala bentuk kekacauan di alam manusia.
            
Biasanya para pelaku spiritual selalu digoda dan ditemui oleh bangsa lelembut seperti Dewi Blorong maupun Dewi Rara Panas. Sedangkan Dewi Ningrum amat jarang menampakan diri pada manusia.
            
Tersebutlah nama Dewi Kaditha. Dia adalah putri raja dari ratu di zaman Kerajaan Sunda Kuno yaitu Prabu Munding Wangi. Dewi Kaditha awalnya sangat cantik. Melihat kecantikan putri Prabu Munding Wangi tersebut, banyak punggawa yang jatuh hati. Namun cinta mereka ditolak. Tidak sedikit orang yang patah hati. Maka, digunakanlah ilmu teluh. Dewi Katidha diguna-gunai dengan ilmu hitam. Kontan, sekujur tubuh Katidha bersisik, berbau amis dan busuk.
            
Tabib istana tidak ada yang mampu mengobati penyakit putri Raja Munding Wangi. Manca negara pun dijelajah untuk mendapatkan tabib dan obat bagi Dewi Katidha. Rasa putus membuat Dewi Katidha melarikan diri dari istana. Dia kemudian berjalan tanpa arah tujuan, hingga sampailah ia di suatu tebing samudra yang ombaknya bergelombang sangat dahsyat.
            
Di tempat itu ia duduk termenung seorang diri. Dalam lamunanya, Dewi Katidha mendengar suara bisikan. Dan ternyata suara bisikan itu berasal dari Dewi Blorong. “Hai Dewi Kaditha, aku bisa menyembuhkan penyakit yang engkau derita. Bahkan menganugerahkan kemuliaan kepadamu, asal engkau mau menjadi pengikutku,” kata Blorong. “Bila engkau menerima tawaranku, engkau harus menceburkan diri ke samudra di depanmu,” perintah Blorong.

Tanpa pikir panjang, Dewi Katidha langsung menceburkan diri ke dalam gulungan ombak yang menggegar. Tubuh Dewi Katidha hilang tersapu ombak yang dahsyat. Dia kemudian menjadi Ratu Alam Gaib yang menguasai sepanjang pantai selatan di pelabuhan Ratu, Sukabumi,Jawa Barat.

Sebuah makam berukuran besar di Karanghawu, Sukabumi, Jawa Barat merupakan bukti kematian Dewi Katidha setelah terjun ke dalam laut dan berganti wujud halus. Jiwanya masuk ke alam lelembut, alam kajiman dan menjadi anak angkat Blorong.

Jaka Tarub dan Nawangwulan cerita penguasa laut selatan tidak berhenti sampai di situ. Adalah Nawangwulan. Dia  anak dari Ratu Atas Angin. Pada setiap malam purnama tiba, Putri Nawangwulan turun ke dunia dan mandi di sebuah telaga bersama ke tujuh saudara-saudaranya. 

Dari ke Tujuh bersaudara Putri Nawangwulan terlihat paling cantik. Selain cantik, Nawangwulan juga sangat baik hati. Mereka bersenang- senang, tertawa bersuka ria.

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata Jaka Tarup mengintip dari semak-semak. Jaka Tarup sangat menikmati senda gurau dan lekuk tubuh Dewi-dewi Atas Awan yang sedang mandi tersebut. Sambil menikmati pemandangan yang langka, otaknya berpikir menyembunyikan selendang dan pakaian salah satu bidadari.

Tibalah saatnya para bidadari tersebut untuk kembali terbang ke angkasa meniti pelangi. Enam bidadari telah siap dengan membentangkan selendangnya. Namun seorang putri masih sibuk mencari-cari, di manakah selendang yang ia letakkan. Alangkah masgulnya Nawangwulan saat mengetahui selendang dan pakaianya tidak berada di tempatnya.

Selendang itu merupakan pakaian yang menjadi alat terbang untuk kembali ke khayangan. Tapi kini selendang itu raib. Keenam orang saudaranya tidak dapat menunggu lama. Mereka segera terbang meninggalkan Nawangwulan dalam keadaan menangis.

Akhirnya ia mengadu dan menangis sejadi-jadinya di sebuah akar pohon besar. Dari tepi telaga yang tak jauh dari tempat bersimpuh Nawangwulan, Jaka Tarub mengambil kesempatan. Pria itu merayu sang putri agar jangan terlalu bersedih dan berduka. Karena ia bersedia menolong, memberi pakaian dan tempat tinggal. Tentu saja dengan memberikan harapan kepada Nawangwulan untuk bisa menemukan pakaian dan selendangnya agar ia bisa kembali ke khayangan.
            
Jaka Tarub tidak ingin dituduh kumpul kebo oleh penduduk desa. Karenanya dia mengajak menikah Nawangwulan. Itu pun sebagai syartat pernikahan agar dapat tinggal serumah.
            
Suatu ketika, Nawangwulan berhasil menemukan selendang miliknya di sebuah guci dalam sebuah kamar terlarang. Sebelumnya Jaka Tarub berpesan agar dirinya tidak memasuki salah satu kamar di rumah mereka tinggal. Kamar itu selalu terkunci dan bila ada Jaka Tarub, Nawangwulan tidak diperbolehkan mendekati kamar tersebut. Apalagi memasukinya.
            
Saat itu Nawangwulan penasaran. Ketika Jaka Tarub pergi, ia berniat memasukinya. Tanpa disangka ia menemukan pakaian dan selendang langitnya. Kemudian Nawangwulan pun mempersiapkan diri kembali ke telaga untuk terbang menuju angkasa menuju keraton Ratu Atas Angin. Dari pernikahan itu, Nawangwulan dan Jaka Tarub telah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 1 tahun.
            
Sebenarnya sang putri berat meninggalkan anaknya semata wayang. Namun rasa kangennya terhadap keluarga Atas Awan mengharuskan memilih satu pilihan. Yaitu meninggalkan suami dan anak buah cinta mereka.

Sepeninggal Nawangwulan, Jaka Tarub menjadi sedih. Ia berlari sambil menggendong anaknya, memohon kepada Nawangwulan untuk tinggal beberapa masa lagi bersama mereka.
            
Pertemuan dan perpisahan selalu menghasilkan gejolak perasaan. Pertemuan dengan ibunya di Kerajaan Awan sangat menyenangkan hati Nawangwulan. Sayangnya di sisi lain, dirinya harus berpisah dengan suami dan anaknya. Dua keadaan itu menjadi kegalauan bagi istri Jaka Tarub. Selanjutnya, dengan memberanikan diri Nawangwulan meminta ijin kepada Ratu Atas Awan untuk turun kembali ke bumi untuk menemui suami dan anaknya.
        
“Sekali lagi kamu turun ke bumi anakku, engkau tidak aka bisa kembali ke khayangan lagi,” begitu kata Ratu Atas Awan. “Engkau akan menjadi manusia selamanya. Engkau akan mengalami sakit dan kematian. Anakku, engkau akan hidup di dunia selama 35 tahun dan anakmu juga tidak lama hidup di dunia, ia hidup hanya sampai remaja. Dan kelak, setelah engkau mengalami kematian, dirimu akan menjadi anak angkat dari Blorong. 
Dirimu akan menjadi penguasa lautan di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya,” kata Ratu Atas Awan. “Dan anak semata wayangmu itu, ia akan ikut dirimu. Kalau sudah bulat tekatmu, bunda akan antarkan sekarang turun ke bumi. Tetapi satu hal yang aku inginkan, jangan kau lupakan ajaran leluhur kita,” pesan Ratu Atas Awan.

Dengan berlinang airmata, Nawangwulan mencium tangan ibundanya. “Anakmu memohon restu bunda. Dan berilah hamba bekal ilmu untuk hidup di alam manusia yang bisa hamba pakai sewaktu-waktu dalam keadaan yang genting,” pinta Nawangwulan kepada ibunya.

Dengan 50 ribu bala tentara dan kereta kencana yang ditarik 4 ekor kuda terbang, Nawangwulan turun ke bumi. Ia turun di dekat sebuah telaga, di mana tempat pertama bertemu dengan Jaka Tarub. Nawangwulan turun dan ditinggal sendiri. Setelah sampai di tempat tersebut, segera ia menuju ke rumah untuk bertemu dengan suami dan anaknya.

Rasa bahagia terbayang dalam hati dan pikirannya. Dengan terburu-buru Nawangwulan mendatangi rumah Joko Tarub. Sesampai di rumah, dirinya hanya melihat seorang anak usia enam tahun sedang bermain seorang sendiri. Dia bertanya kepada anak tersebut yang tak lain anaknya. “Kemana bapakmu, Nak?” 

Anak itu menjawab dengan pandangan kagum bercampur bingung. “Ayahku tadi sedang berada di sawah. Mungkin sekarang sedang mengajarkan beladiri kepada para pemuda desa,” kata anak itu. Nawangwulan menangis hati dalam hati. Ingin rasanya ia memeluk tapi ia takut.

“Ya sudah, saya tunggu di sini sampai bapakmu pulang,” kata Nawangwulan.  “Kenalkan nama saya Ibu Nawangwulan,” kata Nawangwulan mengulurkan tangannya mendekati anaknya. “Oh, ini yang pernah diceritakan bapak. Bahwa saya mempunyai ibu berasal dari langit, bukan berasal dari bangsa manusia, tetapi berasal dari alam lain,” kata Rangga, begitu biasa ayahnya memanggil nama anak itu.
            
Putri Nawangwulan kaget. Tidak disangka bahwa bapaknya telah menceritakan ikhwal dirinya. Dipeluknya Rangga erat-erat dengan menahan tangis. Nawangwulan merasa baru beberapa bulan meninggalkan suami dan anaknya. Tetapi anak itu kini telah tumbuh begitu besar. Rasa rindu membuat kedua makhluk ibu dan anak ini bercanda dengan riangnya. Hingga tak lama kemudian datanglah Jaka Tarub. Mengetahui kepulangan istrinya, hati Jaka Tarub seakan tersiram bunga surga.   

Ratu Kidul Menikah dengan Raja. Suatu saat Nawangwulan mengajak jantung hatinya bermain di tepi sebuah pantai. Pantai itu terletak di kawasan Jawa Tengah. Dirinya ingin menunjukkan kepada putra tunggalnya untuk mengenal alam.
            
Tanpa ia sadari, ternyata Nawangwulan sedang diawasi oleh Blorong dan panglimanya. Blorong tahu, suatu saat nanti wanita dan anak ini akan menjadi penguasa laut selatan. ”Sekarang belum waktunya,” kata Blorong kepada panglimanya. “Biarkan mereka menikmati hidup alam manusia ini dengan tenang, hingga tiba waktunya mereka menjalani takdirnya, menjadi anak angkatku,” jelas Blorong.
            
Kebiasaan itu dilakukan Nawangwulan dan anaknya hingga beberapa lama. Hampir setiap hari mereka menikmati ombak, pasir dan pantai. Dan hampir setiap berada di pantai itu, Blorong dan panglimanya selalu mengawasi kedua calon penguasa pantai selatan kawasan Jawa Tengah itu.
            
Menginjak usia 20 tahun, Rangga mulai sering jatuh sakit. Tidak ada obat yang mampu membuat remaja itu sehat kembali. Karena sering memikirkan penyakit sang anak, Nawangwulan menjadi lupa mengurus diri. Ia juga tidak mau makan. Kebiasaan itu menyebabkan dirinya jatuh sakit. Saat itulah Nawangwulan ingat akan petuah ibunya Ratu Atas Awan. Bahwa usianya tidak akan melebihi 35 tahun. Dan anaknya akan meninggal dalam usia remaja.
            
Putri Nawangwulan mengadakan kontak batin dengan ibunya. Memang itulah jalan hidup bagi diri dan anaknya. Sudah menjadi suratan takdir bila ia hidup di alam manusia dan menjadi bagian dari manusia, dirinya kan mengalami kematian. Setelah itu dirinya akan hidup di alam jin dengan menjadi anak angkat yang kedua bagi Blorong.
            
Nawangwulan hanya bisa pasrah dengan nasibnya. Tak berapa lama setelah melakukan kontak dengan ibunya, utusan Blorong datang menjemputnya. Utusan itu membawanya pergi menuju istana bawah laut.
            
Dewi Blorong telah menunggu kedatangan arwah ibu dan anak itu di istananya. Dengan duduk di singgasananya Blorong menerima Putri Nawangwulan. Untuk beberapa lama kemudian Nawangwulan mendapat pelajaran ilmu kesaktian dan kejayaan. Selain dirinya, Rangga juga mendapatkan gemblengan Blorong yang kelak dipersiapkan membantu ibunya dalam menggoda manusia. “Saya Bunda, pengganti ibumu di angkasa,” begitu kata Blorong kepada Nawangwulan. “Aku telah ajarkan berbagai ilmu kepada kalian berdua. Dengan ilmu itu, engkau memiliki tugas untuk membujuk bangsa manusia untuk menjadi pengikutku,” jelas Blorong.
            
“Carilah manusia yang lemah iman dan ajarkan tentang ilmu politik kekuasaan dan kesaktian. Tentu saja setelah mereka menyepakai perjanjian yang kita buat untuk manusia. Perjanjian itu adalah bahwa manusia yang telah meminta bantuanmu harus menyerahkan anak keturunannya untuk mengabdi dan menjadi bagian bangsa kita kaum lelembut,” pesan Blorong panjang lebar.
            
Nawangwulan hanya menurut kehendak Blorong. Setelah dua tahun lamanya dia menimba ilmu dari Blorong, barulah ia diberi sebuah istana di sebelah istana Blorong. Ada larangan dari Blorong, bahwa ia melarang pengikutnya memakai pakaian berwarna merah dan hijau di sepanjang wilayah pantai kekuasaannya. Barang siapa yang melanggarnya akan mendapatkan hukuman dari Blorong.
            
Sasaran pertama yang menjadi penganut dan penerima jasa Ratu Pantai Selatan yang berkuasa di Jawa Tengah adalah seorang senopati pada masa kerajaan Mataram, tepatnya di sekitar wilayah pantai Jawa Tengah.
            
Konon, ketika sedang asyik dalam peristirahatannya, tiba-tiba laut berguncang keras. Guncangan ini membuat istana Nawangwulan kaget. Untuk mengetahui asal muasal guncangan, lalu dibukanya kaca Benggala pemberian Dewi Blorong.
            
Setelah mengetahui sebab musabab terjadinya guncangan istana bawah lautnya, Ratu Nawangwulan keluar dari istananya. Dihampirinya laki-laki muda yang sedang bertapa di atas batu di pinggiran tebing. “Wahai, Senopati ada apa engkau mengganggu dan mengguncangkan istanaku. Apa yang kamu inginkan,” tegur Nawangwulan si Ratu Pantai Selatan. ”Wahai Ratu Penguasa Laut Selatan. Saya ingin jadi Raja, bisakah Ratu membantu saya untuk mewujudkan keinginan saya,” kata senopati tersebut.
            
Ratu Nawangwulan menyanggupi keinginan Senopati untuk menjadi raja besar di Tanah Jawa. Tetapi dengan syarat. Akhirnya pertapa yang senopati itu menikah dengan Nawangwulan. Pernikahan itulah yang menjadi syarat terkabulnya keingnan sang senopati.
            
Kanjeng Ratu lalu membawa senopati ke istananya. Di sana dilakukan pesta pernikahan. Tapi sebelum itu Ratu Nawangwulan melapor kepada Blorong bahwa dirinya hendak melakukan pernikahan dengan manusia. Sebab manusia itu berkeinginan menjadikan raja terkenal diri dan keturunannya di tanah Jawa. Keinginan itu direstui oleh Blorong.
            
Pernikahan pun dilangsungkan dengan meriah. Setelah itu Ratu Nawangwulan mengingatkan perjanjiannya kepada senopati untuk membuat tempat khusus bagi dirinya di dalam istananya.
            
Nawangwulan juga meminta kepada senopati agar anak-anak yang lahir nanti menjadi pengganti dirinya. Dengan demikian seluruh anak keturunannya kelak akan menjadi suami bagi Nawangwulan.
            
Panembahan Senopati mempunyai anak laki-laki yang berbadan sukma dengan Ratu Nawangwulan. Anak ini dinamakan Rangga. Sedangkan sang senopati akhirnya memiliki istana besar di Yogyakarta.
            
Begitulah cerita tiga penguasa ratu pantai selatan. Ketiganya menguasai sebagian lautan. Mereka adalah Ratu Kaditha atau Dewi Kaditha, Putri Nawangwulan atau Ratu Pantai Selatan dan Dewi Blorong.
            
Ketiga ratu inilah yang konon menciptakan banyak raja-raja kecil yang tersebar di nusantara. Dan mereka-mereka (raja) itu diharuskan menjadi suami dari Puteri Nawangwulan, Ratu Kaditha dan Dewi Blorong. Bahkan anak keturunannya nanti–yang juga raja–akan menggantikan kedudukan bapaknya dengan menjadi budak seks ketiga Ratu Pantai Selatan.
            
Ketiga ratu lelembut ini juga sering hadir pada orang yang sedang melakukan penuntutan ilmu gaib. Karena itu bagi Anda, diharapkan berhati-hati. Bagi siapa saja yang sedang menuntut ilmu gaib, bila salah melangkah akan merugikan diri sendiri dan anak cucu. Bahkan, bisa-bisa memasuki alam jin atau siluman, dan itu akan merubah takdir hidup kita.





7 'Pintu' Menuju Alam Nyai Roro Kidul.

  

Andar pasti pernah mendengar kisah Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan. Konon, ada tempat-tempat yang menjadi penghubung antara Kanjeng Ratu dengan alam nyata, seperti 6 destinasi ini. Berani datang?

Legenda tentang Ratu Selatan, Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyai Roro Kidul memang sudah tersohor di telinga para pembaca. Ratu Kidul dan para jinnya konon bersemayam dan menjadi penguasa di kawasan Pantai Selatan Pulau Jawa. Tak heran, bila kesan mistik dan horor sangat melekat di kawasan pantai tersebut.

Bahkan ada beberapa tempat yang konon, menjadi penghubung antara dunia nyata dan Nyai Roro Kidul,  inilah 7 destinasi yang menjadi 'pintu' menuju alam Ratu Pantai Selatan:

1. Pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat


Pantai Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Jabar ini, memang terkenal karena mitos Nyai Roro Kidul. Bahkan di sekitar pantai tersebut ada sebuah hotel yang membuat kamar khusus untuk Sang Ratu. Hotel Inna Samudera namaya.

Saat berkunjung ke Pelabuhan Ratu, traveler akan melihat bentang laut biru dengan ombak yang cukup besar. Di sekitar Pantai Pelabuhan Ratu, juga ada pantai lain yang bisa Anda kunjungi, seperti Pantai Loji, Pantai Ujung Genteng, dan Pantai Cipunaga.

Tak cuma pantai, di atas bukit Pelabuhan Ratu juga terdapat sebuah vihara bernama Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa. Di vihara ini, traveler bisa menikmati sejuknya angin laut dan bentangan lepas laut selatan.

2. Hotel Inna Samudera, Jawa Barat


Dilansir dari situs Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat, ini adalah hotel berbintang di kawasan Pelabuhan Ratu. Hotel ini mempunyai fasilitas yang lengkap, mulai dari servis yang baik, kolam renang, taman bermain, hingga letaknya yang di pinggir pantai.

Selain itu, hotel ini juga terkenal karena memiliki kamar untuk Nyai Roro Kidul. Mitosnya, salah satu tempat yang dipercaya sebagai tempat istirahat Nyai Roro Kidul adalah kamar 308 Hotel Inna Samudera. Kamar ini pun tak penah sepi dari pelancong, yang ingin meminta ilmu dan berdoa di kamar tersebut.

Tidak harus menginap, cukup membayar sekitar Rp 35.000 untuk melihat dari dekat kamar ini. Warna hijau dan bau-bau dupa serta sesajen dapat traveler rasakan saat memasuki kamar ini. Di dekat kasur, terpampang lukisan Nyai Roro Kidul. Selain itu, juga terdapat banyak perhiasan, baju, dan pemberian-pemberian orang-orang yang bertapa untuk Nyai Roro Kidul.

3. Pantai Parangtritis, DI Yogyakarta


Pantai Parangtritis menyimpan banyak legenda tentang penguasa laut selatan, Nyai Roro Kidul. Sebagian orang percaya bahwa pengunjung dilarang mengenakan pakaian berwarna hijau saat berada di pantai ini. Kisahnya, mereka yang memakai baju hijau akan menjadi sasaran Nyai Roro Kidul untuk dijadikan pelayannya. Hii!

Parangtritis menjadi salah satu tempat persembahan sesajian pada malam 1 Suro. Dari tepi pantai akan terlihat birunya laut lepas dengan deburan ombak yang keras serta tebing-tebing yang menjulang. Tak cuma sekadar berjalan-jalan, traveler juga bisa menunggang kuda, delman, atau bermain motor ATV menyusuri pasir pantainya yang hitam.

4. Pantai Sembukan, Jawa Tengah


Satu lagi pantai yang katanya menjadi penguhubung antara alam Nyai Roro Kidul dengan manusia. Pantai Sembukan yang berlokasi di Dusun Sembukan, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri ini, konon dianggap sebagai pintu ke-13 untuk Ratu Laut Selatan menghadiri pertemuan dengan raja-raja Kasunanan Surakarta.

Dengan membayar Rp 3.000 per orang, Anda sudah bisa menikmati keindahan Pantai Sembukan. Selain deburan omabknya yang menggelegar, keindahan pantai ini juga terlihat dari karang yang membentuk bukit-bukit cantik. Di daerah pantai ini juga terdapat sekitar 3 bukit tinggi yang bisa dijadikan tempat untuk memandang dan mengabadikan foto oleh wisatawan.

5. Kraton Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah


Tidak sah kalau Anda ke Solo, tapi tidak berlibur ke Kraton Surakarta Hadiningrat atau Kraton Kasunanan Surakarta. Pecahan dari Kraton Yogyakarta ini, punya sejuta pesona. Sentuhan bergaya Eropa pun membuat Kraton Surakarta terlihat sempurna.

Di balik keindahan bangunannya, terselip pula kisah Nyai Roro Kidul di kraton ini. Konon, Panggung Sangga Buwana yang ada di kraton ini menjadi tempat bercengkerama antara sultan Surakarta dengan Kanjeng Ratu. Sang Ratu akan menunjukkan wajah sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda. Namun, lama-kelamaan wajahnya akan terlihat berangsur-angsur memburuk.

Bahkan, saat memasuki kompleks utama yang berada setelah Gladag, pelancong harus melepas alas kaki yang digunakan. Ya, Anda harus berjalan dengan telanjang kaki di atas pasir yang memenuhi pelataran halaman kompleks utama. Pasir-pasir ini dibawa langsung dari Pantai Selatan.

6. Vihara Kalyana Mitta, DKI Jakarta

Ternyata kisah Nyai Roro Kidul juga sampai di Jakarta. Di Vihara Kalyana Mitta, Pekojan, Jakarta Barat, terdapat satu tempat pemuliaan untuk Nyai Roro Kidul. 

Dilansir dari situs resmi Vihara Kalyana Mitta, ruangan yang ada di lantai bawah atau altar dewa-dewi vihara ini, traveler bisa melihat lukisan Kanjeng Ratu lengkap dengan dupa, keris, dan alat sesajen lainnya. Tidak cuma Kanjeng Ratu Selatan, traveler juga bisa melihat tempat pemuliaan Eyang Surya Kencana, Raden Ratu Prawira Negara, dan yang menjadi tempat doa utama di vihara ini adalah Kwan Im Pho Sat. 

7. Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa Pantai Loji Sukabumi


Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa terletak di kawasan pesisir Pantai Loji, diantara Desa Cibutun Citaringgul dan Desa Kertajaya Loji, Kecamatan Simpenan Sukabumi Jawa Barat. Ada yang serba unik dari vihara yang belum banyak dikenal orang ini. Vihara yang sering disebut sebagai vihara Dewi Kwan Im ini rupanya didirikan oleh wanita asal Thailand bernama Anothai Kamonwathin atau sering disebut juga Mama Airin.

Syahdan, pembuatan vihara inipun konon berdasarkan petunjuk atau wangsit yang diberikan seseorang melalui mimpi Mama Airin. Ajaib, tempat itu adalah pesisir pantai Pelabuhan Ratu. Ditanah yang agak berbukit dengan udara bersih vihara itu kemudian didirikan. Vihara ini merupakan salah satu vihara dengan fasilitas peribadatan terlengkap di Indonesia, ada Dewa-Dewi Bumi, Julehut, Dewi Kwan Im, Padepokan Eyang Semar, Padepokan Prabu Siliwangi, Buddha Four Face dan satu lagi yang mengherankan, disini juga ada padepokan khusus si Ratu Pantai Selatan.
Menurut cerita yang beredar disekitar vihara, Nyi Roro Kidul mempunyai silsilah keluarga dengan Kerajaan Thailand. Konon si wanita penguasa Pantai Selatan itu merupakan putri dari Raja Thailand ke IV. Itu sebabnya, lukisan si Ratu Pantai Selatan ini nampak disandingkan dengan foto Raja dan Ratu Thailand.
Tak hanya dengan bumbu-bumbu misteri, vihara ini juga nampak menarik dengan lansekap yang tersaji disekitarnya, ornamen vihara yang berwarna khas membuat tempat peribadatan ini makin terlihat eksotik.


KANJENG RATU KIDUL

Orang Jawa sangat peka akan perasaan bahwa ia tidak hidup sendiri di dunia ini, disamping ada alam kasatmata, masih ada dunia datan kasatmata, yaitu dunia halus di dalam jagad raya yang membentang tanpa batas ini, maupun di alam jagadnya manusia sendiri, dan bahkan di sekitar ia berpijak. Kasatmata = dapat dilihat dengan mata atau sering disebut alam kodrati, datan kasatmata = tidak bisa dilihat dengan mata atau sering disebut alam adikodrati. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Kekuasaan adalah ungkapan energi Ilahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Kekuasaan yang ada di dunia ini dipandang sebagai kekuatan yang berasal dari Ilahi dan dianggap sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai kekuasaan harus selalu dapat memelihara hubungan dengan Yang Suci.

Ciri dasar gambaran dunia Jawa “tradisional” adalah kepercayaan pada kaitan universal antara peristiwa-peristiwa di dunia dan kekuasaan-kekuasaan di alam adikodrati. Kepercayaan-kepercayaan tersebut dihayati dalam kehidupan orang Jawa dan digunakan sebagai pedoman tingkah laku mereka. Hal tersebut merupakan usaha agar alam adikodrati dan alam kodrati dapat terpelihara keseimbangan dan keteraturannya.

Kerohanian asli yang dihayati dalam sikap batin terhadap Zat Tertinggi - yang diberi nama apa saja – yang sifat hakikatnya mengatasi manusia. Kerohanian asli Jawa atau agama Jawa disebut Kejawen (Javanism), yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan – sikap nrimo (menerima keadaan dirinya atau segala peristiwa yang terjadi dengan hati senang dan dengan sikap rela) terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta. Manusia Jawa percaya bahwa di alam adikodrati ada sesuatu zat yang tidak kelihatan dan menguasai alam yang tidak kelihatan ini. Kepercayaan Jawa tersebut berisi kosmologi, mitologi, konsepsi mistik yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman gaib dan hasil interpretasi tentang dunia dalam kehidupan sehari-hari.

Fungsi pertama mitos adalah menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan ajaib di dunia lain; fungsi kedua adalah memberi jaminan bagi masa kini, yaitu ketentraman, keseimbangan, dan keselamatan; fungsi ketiga adalah memberikan “pengetahuan tentang dunia”, mitos lalu berfungsi sebagai pengantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam. Mitos digunakan sebagai pedoman tingkah laku masyarakat pendukungnya agar alam adikodrati dan alam kodrati menjadi selaras serta kehidupan yang ada menjadi selamat.

Kanjeng Ratu kidul tidak hanya merupakan legenda, dia juga benar-benar ada. Keberadaan alam supranatural yang dipahami orang Jawa sampai taraf tertentu yang tidak bisa diterangkan, disebut dengan istilah suwung awang-uwung (posisi “0/nol”). Dalam keinsafan dan tingkah laku religius, manusia keluar dari dirinya sendiri menuju Tuhan.

Makna kehidupan sejati yaitu sangkan paraning dumadi (dari mana manusia berasal, apa dan siapa manusia pada masa sekarang, dan kemana arah tujuan hidup yang dicapainya). Orang Jawa membagi kenyataan dunia menjadi dua, yaitu lahir dan batin. Manusia seperti kita ini mempunyai segi lahir dan batin. Segi lahir dapat terlihat melalui tingkah laku luar manusia, sedang segi batin tidak bisa terlihat dengan mata karena berada dalam diri kita. Demikian juga dengan dunia ini, ada jagad batin (dunia batin) yang disebut jagad kealusan (dunia halus) dan jagad lahir (dunia lahiriah) yang disebut jagad gumelar (dunia yang tampak). Dunia lahir dan batin tersebut pada hakikatnya adalah satu. Dunia batin tanpa dunia lahiriah tidak ada artinya, begitu pula sebaliknya, karena kedua-duanya adalah loro-loroning atunggal (dwi tunggal / dua tetapi tetap satu).

Kekuasaan yang ada di dunia ini pada hakikatnya bersumber dari wahyu Ilahi (kemuliaan Ilahi, keuntungan, dan kejayaan). Siapa saja yang ketempatan wahyu pasti mempunyai perbawa (wibawa). Biasanya kalau ada orang yang kerep nglakoni (sering berolah batin), wahyu akan merasa anyep (dingin/sejuk, kerasan/betah) tinggal di dalam badan orang tersebut. Wahyu bisa pindah apabila orang tersebut membiarkan nafsu leluasa di dalam dirinya. Orang tersebut selalu bersenang-senang tanpa memperhatikan ngelmu batin (ilmu kebatinan).

Kekuasaan selalu bersumber sama, yaitu Yang Ilahi dan kekuasaan yang ada mempunyai jumlah yang sama. Kekuasaan bersumber dari alam adikodrati atau kekuatan gaib yang jumlahnya sama, maka jumlah kekuasaan juga selalu sama walaupun yang memegang kekuasaan individu atau kelompok mana pun. Kekuasaan dipandang sebagai pencerminan pemerintahan Ilahi yang mana kehadirannya digunakan untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan dunia secara keseluruhan. Eksistensi (keberadaan) kekuasaan tidak tergantung dari individu pemegang kekuasaan. Kekuasaan lebih dahulu ada daripada tindakan baik dan buruk para pemegang kekuasaan. Kekuasaan yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Yang Ilahi, sehingga apabila ada penguasa yang bertindak sewenang-wenang, maka wahyu kekuasaan yang ada dalam dirinya tidak akan tinggal lama dan penguasa tersebut lama-kelamaan akan hancur dengan sendirinya.

Turunnya wahyu dalam diri atau nenek moyang calon penguasa seringkali dijadikan pertanda bagi seorang individu yang akan memegang kekuasaan. Penguasa juga harus menjalankan beberapa macam laku prihatin ( melakukan hal-hal yang memedihkan hati dengan jalan mengurangi atau mengekang nafsu-nafsu duniawi supaya dapat selalu dekat dengan Yang Ilahi atau mencapai sangkan paraning dumadi. Ketentraman dan keselamatan hidup selalu didasari dengan laku prihatin.) supaya wahyu kekuasaan yang ada dalam dirinya dapat langgeng. Misalnya, bertapa di berbagai tempat yang dianggap wingit (angker, sakral, keramat, atau mempunyai kekuatan magis).

Kekuatan supranatural yang tidak bisa dilihat dengan mata terdapat dimana-mana, namun kekuatan-kekuatan tersebut mempunyai wadah (suatu tempat yang diisi sesuatu). Kekuatan-kekuatan itu dapat terpusat melalui tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia. Wadah dari kekuasaan yang bersifat Ilahi adalah individu penguasa. Kekuasaan itu bisa meninggalkan wadah-nya dan mencari wadah yang lain apabila individu penguasa tidak merawat dan memeliharanya.

Dunia yang tampak ini adalah refleksi (gambaran) dari kekuasaan adikodrati. Melalui pemusatan kekuatan kosmis, yaitu dengan menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut dengan alam kodrati, maka keselarasan alam dapat selalu terjaga. Seorang raja dianggap sebagai wakil Yang Ilahi dalam menjalankan pemerintahan dan menjaga ketentraman rakyatnya. Raja itu merupakan wakil Tuhan yang memerintah dan menguasai tegaknya keadilan di dunia, oleh karena itu, siapapun yang tidak tunduk pada perintah raja maka hal itu dapat dikatakan tidak tunduk pada Tuhan. Dengan demikian, dalam diri seorang raja memiliki teja (pancaran sinar yang memancar dengan halus dari wajah atau badan orang yang memiliki kekuasaan atau kekuatan gaib) dan kesakten (kekuatan luar biasa yang transendental sifatnya, sehingga mampu menanggulangi guncangan supranatural) yang memancar, karena seorang raja dapat menyerap kekuatan-keuatan adikodrati di dalam dirinya. Hubungan yang erat sering dijalin antara raja yang berkuasa dengan penguasa-penguasa alam supranatural di sekelilingnya.

Seorang raja merupakan individu yang sangat sakti, karena dipandang sebagai individu yang dapat memusatkan kekuatan-kekuatan supranatural. Kesakten (kesaktian) merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh seorang raja dalam menjalankan pemerintahannya, karena orang Jawa lebih memperhatikan kesaktian daripada kekuatan fisik yang dimiliki oleh rajanya. Untuk mendapatkan kesakten diperlukan kemurnian rohani yang bisa diperoleh melalui pelepasan materi, misalnya semadi, bertapa, berpuasa, dan upacara-upacara keagamaan. Dengan adanya kekuatan ini raja dapat menjaga ketentraman dunia dan melindungi rakyatnya dari ancaman bahaya. Bahkan apabila terjadi kekacauan dan bencana, maka daya kekuatan yang dimiliki pengacau tersebut dapat terserap oleh daya kekuatan yang dimiliki oleh raja.
Dari dalam diri seorang raja yang berkuasa memancarkan ketenangan dan ketentraman. Para raja dianggap termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewakili kekuatan kosmis. Pancaran kekuasaan seorang raja dapat diukur dengan luas atau tidaknya wilayah kerajaan tersebut. Semakin luas wilayah kerajaan, maka pancaran kekuasaan juga semakin besar karena daya kekuatan alam yang dapat diserap oleh raja juga semakin besar.

Keraton merupakan tempat tinggal seseorang yang mempunyai kekuatan sakti. Di dalam keraton juga banyak tersimpan benda-benda dan terpeliharanya mahluk hidup yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Keraton sebagai pusat politik dan kebudayaan, juga sebagai tempat yang sangat keramat atau sakral. Berbagai macam hasil kebudayaan keraton dianggap luhur, tinggi, dan keramat, sampai-sampai rakyat tidak berani meniru dan menyamainya.

Benda-benda pusaka, binatang yang dianggap “aneh”, serta orang-orang yang dianggap “aneh” dikumpulkan dan dipelihara di dalam keraton sebagai kekuatan atau pusaka kerajaan. Benda-benda dan mahluk-mahluk áneh tersebut dipandang memiliki kekuatan gaib. Hal ini dikarenakan benda-benda dan mahluk-mahluk yang “aneh” merupakan penampakan dari Yang Suci yang mempunyai kekuatan gaib sangat besar. Orang-orang “aneh” itu disebut abdi dalem golongan Palawijan. Sultan dikelilingi oleh simbol kekuatan supranatural. Orang Jawa akan merasa tenteram apabila tinggal di dekat rajanya, sehingga tidak mengherankan apabila di pusat pemerintahan tersebut padat penduduknya. Pancaran ketenteraman seorang raja sangat dirasakan apabila rakyat tinggal di sekitar keraton, seakan-akan kehidupan mereka menjadi terlindung dari berbagai ancaman mara bahaya.

Seorang raja sebenarnya dibebani oleh godaan-godaan kekuasaan yang tiada batas dan mempunyai tanggung jawab tunggal dan luas sekali untuk mempertahankan ketertiban dunia ini, sehingga raja haruslah luar biasa keunggulan dan kecakapannya. Raja merupakan satu-satunya perantara yang dapat menghubungkan alam kodrati dan alam adikodrati. Raja mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak dapat diatur dengan cara-cara duniawi. Rakyat mengharapkan seorang raja dapat mengatasi semua semua gangguan alam dengan kekuatan gaib yang dimilikinya. Untuk dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut seorang raja memerlukan kemurnian rohani dan terus-menerus mencari tuntunan Yang Ilahi melalui semadi, bertapa, laku prihatin, dan sebagainya.

Kekuatan gaib yang dimiliki seorang raja dianggap sempurna apabila dapat mengatasi gangguan-gangguan alam dan menenteramkan rakyatnya. Seorang raja yang adil, berbudi, dan bijaksana dilukiskan orang Jawa dengan istilah sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, unggul tanpa bala, menang tanpa ngasorake (kaya tanpa harta, tidak dapat terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara/pasukan/pengikut, menang tanpa merendahkan/menghina).

Jumbuhing kawulo-Gusti (kesatuan antara manusia dengan Tuhannya) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu tercapainya “kesatuan” yang sesungguhnya (manunggal) dengan Tuhan. Kesatuan tersebut dapat dicapai apabila manusia menyadari bahwa di dalam diri manusia dan Tuhan terdapat suatu hal yang sama, yaitu apa yang disebut sukma. Kesamaan ini menimbulkan ikatan antara manusia dengan Tuhannya atau antara rakyat dengan rajanya.

Raja ideal adalah raja yang secara terus-menerus mencari tuntunan Ilahi di dalam batin ini. Pencarian tersebut dilakukan dengan jalan semadi, bertapa, berpuasa, dan laku prihatin lainnya, sehingga seorang raja dapat memperoleh petunjuk-petunjuk dari Tuhan dalam menjalankan pemerintahannya. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah neges kersoning Pangeran (mencoba memahami kehendak Tuhan) melalui pralambang-pralambang dan pasemon (informasi-informasi rahasia) yang diberikan Tuhan pada waktu manusia mencapai kemurnian rohani pada tingkat tertentu menurut kadar keras dan tekunnya usaha pencapaian tersebut.

Jumbuhing kawulo-Gusti sering disimbolkan dalam bentuk keris yang terdiri dari warangka (sarung keris) dan curiga (mata keris). Warangka diumpamakan sebagai rakyat dan curiga diumpamakan sebagai raja. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sehingga kesatuan itu melambangkan bersatunya raja dengan rakyatnya. Raja ideal adalah raja yang secara terus-menerus mencari tuntunan Ilahi dalam dirinya dan raja yang dapat manunggal dengan rakyatnya atau dapat diperluas artinya menjadi raja yang dekat dengan rakyat.

Raja harus dapat melindungi rakyatnya dari gangguan-gangguan alam, baik alam kodrati maupun alam adikodrati. Oleh karena itu, seorang raja harus memiliki kekuatan-kekuatan untuk menjaga keseimbangan alam, terutama kekuatan batin. Ngarso Dalem Kanjeng Sinuhun mengandung maksud dituhu-tuhu, merupakan sebutan bagi sultan atau raja yang telah meninggal dunia. Sedang sebutan untuk sultan yang masih hidup atau masih memerintah kerajaan adalah Ngarso Dalem Kanjeng Sinuwun, maksudnya yang disuwun-suwun. Orang Jawa menganggap seorang sultan/raja merupakan trahing kusumo, rembesing madu, wijining topo, tedaking andoro warih (turunan bunga/kembang, tirisan madu, benih/biji pertapa, turunan mulia).

Sultan/raja adalah seorang yang dapat memusatkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dunia ini. Oleh karena itu, seorang sultan mempunyai kekuatan untuk dapat berkomunikasi dengan dunia adikodrati. Kotang (penutup dada wanita) adalah lambang raja sebagai penguasa dunia, karena sementara mengenakannya raja dapat berdiri antara Bumi dengan Dunia Bawah atau antara Bumi dan Langit. Posisi raja berada di tengah, yaitu sebagai penghubung alam adikodrati dan alam kodrati. Selain berhubungan dengan rakyat atau pejabat istana, sultan juga berhubungan dengan alam supranatural untuk menjaga agar kerajaan menjadi tenteram dan aman dari berbagai macam gangguan. Sultan dipandang memiliki kesanggupan untuk berhubungan langsung dengan arwah nenek moyangnya dan dengan Nyai Roro Kidul, ratu perkasa dari lautan Hindia; para pelindung surgawi dari Gunung Merapi dan Gunung Lawu di Jawa Tengah juga dianggap sebagai pelindung yang menjaga sultan, kerajaan, dan rakyatnya.

Hubungan raja dengan alam supranatural dapat tampak melalui upacara-upacara untuk keselamatan atau sesajen (sesaji kepada mahluk halus, leluhur, dan sebagainya) yang dilakukan oleh pihak keraton. Upacara labuhan (berasal dari kata labuh; membuang sesuatu ke dalam air atau kawah) merupakan salah satu upacara sesajen yang dilakukan oleh pihak keraton untuk persembahan kepada penguasa Laut Selatan, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Kahyangan nDlepih. Di sekeliling kerajaan terdapat para penguasa alam yang datan kasatmata. Para penguasa itu harus diberi sesajen, supaya ikut ngawat-awati (menjaga dari kejauhan) kerajaan dan supaya tidak mengganggu kelangsungan hidup rakyat kerajaan. Apabila Kanjeng Sinuwun tidak memberi sesajen atau sesajen yang diberikan kurang lengkap, bisa-bisa ketenteraman kerajaan dapat terganggu, misalnya dengan penyebaran wabah penyakit, lindu (gempa bumi), angin ribut, dan sebagainya. Juru kunci = sebutan bagi seseorang yang mempunyai tugas menjaga dan memelihara tempat-tempat keramat atau yang dianggap keramat, seperti makam, hutan, gunung, laut, pohon besar, dan sebagainya. Wisik = bisikan gaib yang berasal dari alam supranatural.
Kehadiran dari Yang Suci dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dunia dan supaya tidak terjadi gangguan-gangguan atau bencana alam yang menimpa kehidupan manusia. Mitologi merupakan cerita suci yang diturunkan secara lisan kepada keturunannya. Serat = tulisan, arti luasnya karangan, biasanya berupa tulisan tangan yang dikarang oleh pujangga keraton.

Laut di sebelah Selatan Pulau Jawa atau lebih dikenal dengan nama Segoro Kidul merupakan laut yang sangat ganas ombaknya. Keganasan Laut Selatan tersebut diinterpretasikan/diartikan sebagai laut yang mempunyai kekuatan supranatural. Lingkungan alam, flora, fauna, gunung, laut, sungai, dan danau mempunyai kekuatan dan dapat dikendalikan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi. Laut Selatan dikuasai oleh mahluk supranatural yang datan kasatmata, yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Sedekah laut = memberikan sesuatu yang berupa barang yang diperlukan oleh penguasa laut dengan hati sukarela.
Kekuasaan Kanjeng Ratu Kidul bersifat mutlak, karena Kanjeng Ratu Kidul dianggap wakil Yang Ilahi (utusan Pangeran) yang menguasai dan membawahi mahluk halus Laut Selatan. Pintu gerbang Keraton Laut Selatan terletak di Parangkusumo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Kidul itu bukan setan, bukan jin, tetapi dewa. Ia punya tugas Mangayu Hayuning Buwono, yaitu berusaha mempersatukan bangsa-bangsa (menjaga perdamaian dunia dan menjadikan dunia aman). Kanjeng Ratu Kidul datan kasatmata atau bersifat kajiman (bersifat sperti jin, maksudnya tidak tampak apabila dilihat dengan mata karena berwujud mahluk halus).

Pentingnya memberi sesaji : Di jagad gumelar ini ada gunung, laut, hutan gua, dan tempat-tempat wingit lainnya yang harus diberi sesaji. Hidup di dunia ini harus tau juga dengan jagad alus yang ada di sekeliling kita supaya kehidupan ini dapat tenteram dan mendapat keselamatan. Kalau kita mengerti mereka dengan jalan nyelameti (memberi sesaji), tentunya mereka juga akan mengerti pada kita dengan jalan menjaga keselamatan kita. Sesaji yang dipersembahkan berupa bunga-bunga dan kemenyan. Benda-benda tersebut merupakan makanan pokok para lelembut (mahluk halus). Makanan tersebut tidak bisa didapatkan dari dunia lelembut, tetapi hanya bisa didapatkan dari dunia yang tampak/kelihatan ini. Mahluk halus mendapatkan makanannya dari manusia yang memberikan sesaji kepada mereka, sehingga mereka akan membalas kebaikan manusia dengan menjaga ketenteraman/keselamatan dan mengabulkan permintaannya.

Salah satu cerita dalam Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa pada waktu kerajaan Pajajaran (sebetulnya masih bernama Tarumanegara, setelah jaman Prabu Siliwangi baru bernama Pajajaran) di bawah kekuasaan Prabu Mundingsari, ia mempunyai seorang putri yang bernama Ratna Suwidi. Putri tersebut mempunyai kebiasaan bertapa dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Banyak sekali raja dan pangeran yang melamarnya, tetapi tidak satupun yang diterima karena ia lebih mementingkan segi kerohanian. Penolakan-penolakan itu membuat Sang Prabu marah dan prihatin terhadap putrinya. Akibatnya, ia mengusir putrinya sendiri dari kerajaan. Kemudian Ratna Suwidi mengembara seorang diri, naik turun gunung dan menembus lebatnya hutan menuju ke arah Timur (dari keraton di Galuh). Tujuannya adalah mencari tempat yang cocok untuk bertapa. Akhirnya ia menemukan puncak Gunung Kombang (Gunung Kumbang, arah Timur dari Cibingbin/arah Selatan dari Brebes) yang dirasa cocok untuk bertapa. Di puncak gunung ini terdapat sebatang pohon cemara. Dengan kesaktiannya lalu ia mengubah wujudnya menjadi seorang laki-laki. Pohon cemara yang berada di puncak gunung tersebut diabadikan menjadi nama samarannya, yaitu Hajar Cemara Tunggal. Sang pertapa ini kemudian terkenal dengan kelebihannya, yaitu sakti dan waskitha (bisa melihat masalah yang masih samar-samar/belum terjadi atau melihat batin orang lain).

Pada suatu hari Hajar Cemara Tunggal atau Ratna Suwidi didatangi dewa dan ditanya tentang keinginnya bertapa secara terus-menerus. Ratna Suwidi menjawab bahwa ia ingin sekali tidak bisa meninggal dunia dan bisa hidup sepanjang jaman. Kemudian dewa berkata bahwa manusia tidak bisa hidup sepanjang jaman, tetapi keinginan Ratna Suwidi tersebut bisa terkabul apabila ia bersedia menjadi mahluk halus. Dengan menyetujui saran dewa tersebut, maka Ratna Suwidi kemudian berubah menjadi mahluk halus yang membawahi semua mahluk halus di seluruh tanah Jawa.

Pada waktu Hajar Cemara Tunggal masih bertapa di Gunung Kombang, ia didatangi Raden Susuruh (dalam kitab Pararaton, Raden Susuruh ini adalah Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit), seorang putra mahkota kerajaan Pajajaran yang melarikan diri bersama pengikutnya karena terjadi perebutan kekuasaan. Berkat kewaskithaan Hajar Cemara Tunggal, maka ia sudah tau maksud dan tujuan Raden Susuruh datang menemuinya. Sang Hajar kemudian memberi petunjuk kepada Raden Susuruh supaya berjalan lurus ke arah Timur. Apabila nanti di suatu tempat menemukan sebatang pohon Kemaja berbuah hanya satu dan rasanya pahit, maka tempat itulah yang dapat dipergunakan oleh Raden Susuruh untuk memegang kekuasaan dan menurunkan para raja di tanah Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Dari tempat itulah Raden Susuruh dapat membalas sakit hati atas perlakuan raja Pajajaran.

Hajar Cemara tunggal kemudian menceritakan kisah pelariannya dan siapa sebenarnya dirinya. Berdasarkan garis keturunan, sebenarnya Hajar cemara Tunggal adalah adik perempuan dari kakeknya Raden Susuruh. Tetapi di tengah-tengah cerita tiba-tiba Sang Hajar berubah wujudnya, ia menjelma menjadi seorang putri cantik Ratna Suwidi. Berkat kesaktiannya, maka ia dapat mencolo putro-mencolo putri (bisa dengan cepat berubah wujud menjadi seorang laki-laki atau perempuan). Raden Susuruh terpesona dan jatuh cinta kepada putri cantik yang ada di depannya tersebut, kemudian ia mendekati dan merayunya. Seketika itu juga putri tersebut hilang dari pandangan mata Raden Susuruh dan menjelma menjadi Hajar Cemara Tunggal lagi. Dengan rasa malu Raden Susuruh segera bersujud di kaki Sang Hajar dan kemudian memohon maaf.

Sang Hajar melanjutkan ceritanya dengan nada menghibur, bahwa kelak apabila Raden Susuruh telah dinobatkan menjadi raja Majapahit, mereka akan bertemu kembali. Kelak setelah Raden Susuruh memegang kekuasaan dan membawahi seluruh tanah Jawa, Hajar Cemara Tunggal tidak lagi bertapa di Gunung Kombang, melainkan pindah ke Samudera Pasir. Selama bertahta di Samudera Pasir atau Laut Selatan Jawa, ia akan berubah wujud seperti semula, yaitu sebagai putri yang cantik jelita dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Pesan terakhir Sang Hajar kepada Raden Susuruh adalah apabila Raden Susuruh beserta keturunannya yang menjadi raja tanah Jawa menemui halangan, sebaiknya memanggil saja Sang Hajar. Dengan sekejap, Sang Hajar pasti akan datang bersama mahluk halus bawahannya. Selain itu, kelak akan ada keturunan Raden Susuruh yang menjadi raja Jawa akan dapat mengawini Kanjeng Ratu Kidul.
Kanjeng Ratu Kidul merupakan ratu lelembut yang sangat cantik, mempunyai kesaktian luar biasa, dapat berubah wujud menjadi apa saja, dewi pelindung kehidupan, penjaga ketenteraman, ataupun penguasa laut yang memberikan berkah pada nelayan. Sebenarnya Kanjeng Ratu itu sangat welas asih (penuh belas kasihan) pada manusia. Yang sering menimbulkan korban itu Nyai Blorong dan prajurit Kanjeng Ratu. Nyai Blorong ini sering memba-memba (bersalin wujud menyerupai) Kanjeng Ratu. Orang kebanyakan tidak tau apakah yang dia hadapi itu Kanjeng Ratu betul atau Nyai Blorong.

Pada saat kirab (pawai) penobatan raja baru, permaisuri tidak diperkenankan mendampingi Sultan karena dipercaya bahwa tempat duduk di sebelah Sultan disediakan untuk Kanjeng Ratu Kidul. Sebagai penguasa lelembut yang tidak tampak oleh mata, Kanjeng Ratu Kidul merupakan sekutu para raja Kasultanan Yogyakarta dalam menjalankan kekuasaannya. Raja Kasultanan Yogyakarta mendapat bantuan dari Kanjeng Ratu Kidul dalam mengatasi gangguan-gangguan yangmenimpa kerajaan. Atau melalui kekuatan supranatural yang dimiliki penguasa Laut Selatan tersebut, para penguasa Keraton Yogyakarta sering kali diberi wisik agar terhindar dari mara bahaya yang akan menimpa raja, kerajaan, maupun rakyatnya. Hal ini dapat dipahami karena para raja Kasultanan Yogyakarta menurut silsilah keluarga sebenarnya masih merupakan cucu (keturunan) dari Kanjeng Ratu Kidul sendiri.

Para raja Kasultanan Yogyakarta mempunyai hubungan khusus dengan Kanjeng Ratu Kidul, karena para Sultan tersebut merupakan keturunan dari Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram, ceritanya bisa dibaca di Babad Tanah Jawi). Hubungan tersebut dilakukan untuk kepentingan seluruh kerajaan, sebab Sultan mempunyai tanggung jawab besar terhadap ketenteraman dan keselamatan rakyatnya. Hubungan tersebut berawal dari perjanjian Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul untuk saling membantu apabila terjadi gangguan-gangguan dalam tubuh kerajaan. Apabila Kanjeng Sinuwun sedang peteng penggalihe (bingung karena sedang mempunyai masalah yang berat), maka ia bersemadi untuk minta bantuan kepada kanjeng Ratu Kidul. Semadi sudah menjadi kewajiban manusia untuk minta (petunjuk maupun berkah) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Seseorang yang ingin bertemu dengan orang yang lebih tinggi kekuasaannya harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Demikian pula, bagi seorang raja atau orang Jawa yang ingin bertemu dengan mahluk halus yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural yang tinggi – seperti Kanjeng ratu Kidul – juga harus melalui laku tertentu, misalnya berpuasa, berpantang, semadi, dan sebagainya. Orang Jawa lebih mengutamakan wadah terlebih dahulu dari pada isi, sehingga apabila wadah-nya sudah kuat bisa menampung isi yang diharapkan. Dengan laku seperti semadi, maka dalam diri orang tersebut akan keluar tenaga yang disebut gelombang panas. Gelombang panas ini makin lama makin bertambah menurut kadar lamanya bersemadi, sehingga dapat menimbulkan gangguan alam, baik alam yang tampak (kelihatan) maupun alam yang tidak tampak.

Eyang = nenek/kakek. Sebutan eyang tidak hanya digunakan untuk menyebut dua generasi di atasnya, tetapi juga sering digunakan untuk menyebut beberapa generasi dia atasnya. Pada waktu bulan naik Eyang Ratu Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik, sebaliknya apabila bulan turun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua. Sumur Gumuling yang terdapat di Tamansari Keraton Yogyakarta mempunyai terowongan di bawah tanah yang menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Keraton Laut Selatan. Terowongan tersebut digunakan sebagai jalan ketika Sultan Hamengku Buwono hendak berhubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Seorang Sultan harus cepat tanggap terhadap keadaan apabila wilayah kerajaan mengalami gangguan-gangguan alam atau terjadi peristiwa yang mengguncangkan rakyatnya dan berhubungan dengan mahluk-mahluk penguasa alam supranatural dalam menyeimbangkan alam. Dalam siklus kehidupan manusia terdapat kewajiban untuk memberikan sesaji kepada penguasa alam supranatural atau mahluk halus yang ada di sekelilingnya.

Laut Selatan merupakan sebuah keraton kajiman yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Pintu gerbang keraton tersebut berada di Parangkusumo. Kanjeng Ratu Kidul merupakan ratu lelmbut yang dapat memusatkan kekuatan-kekuatan sakti, sehingga Keraton Kidul dipandang sebagai wilayah penuh kekuatan gaib dan keramat. Keraton Laut Selatan sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan Keraton Merapi dan Keraton Yogyakarta. Keraton-keraton tersebut saling mengadakan hubungan, baik berupa kunjungan ataupun saling memberi bantuan. Lampor merupakan barisan mahluk halus dari Keraton Laut Selatan atau Keraton Merapi yang sedang mengadakan gladen (latihan perang) maupun saling mengadakan kunjungan antar keraton lelembut atau mengadakan kunjungan ke Keraton Yogyakarta. Pada saat seseorang mendengar suara lampor, maka ia harus memukul kentongan atau apa saja yang dapat dipukul. Maksudnya agar prajurit mahluk halus yang sedang lewat mempercepat lari kudanya dan tidak sempat mengganggu orang-orang yang berada di sekitar jalan yang dilewatinya. Mereka (lampor) menggunakan kuda maupun kereta kuda. Biasanya suara lampor terdengar setiap 35 hari sekali dengan menimbulkan suara berisik (gemerincing) di waktu sore hari menjelang maghrib melewati sungai-sungai yang menghubungkan Keraton Merapi dan Keraton Laut Selatan dan melalui wilayah Keraton Yogyakarta. Hubungan antara keraton-keraton tersebut bersifat kekeluargaan, karena sering terjadi perkawinan antara lelembut Keraton Merapi dengan lelembut Keraton Laut Selatan. Sedang hubungan dengan pihak Keraton Yogyakarta juga bersifat kekeluargaan karena Kanjeng Ratu Kidul merupakan eyang para raja Kasultanan Yogyakarta.

Kanjeng Ratu Kidul dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh dua orang patih, yaitu Nyai Riyo Kidul sebagai patih lebet dan Nyai Roro Kidul sebagai patih jawi. Tugas patih lebet adalah mengatur urusan dalam kerajaan, termasuk mengatur abdi dalem dan upacara-upacara di dalam keraton. Sedang patih jawi mempunyai tugas memerintah dan membawahi para prajurit lelembut. Selain patih lebet dan patih jawi, Kanjeng Ratu Kidul juga mempunyai putra dan abdi dalem yang sangat berperan dalam membantu jalannya pemerintahan. Nama para putra dan pendherek (pengikut) Kanjeng Ratu Kidul yaitu, Gusti Ratu Aking yang setiap tahun rabi (menikah) dan Dewi Sumpene Ratu Klimah. Laut Selatan merupakan keraton lelembut yang memiliki abdi dalem kepercayaan seperti Kyahi Taman Wakul, Kyahi Jangkung Sari, Joko Lelono, Joko Waseso, Joko Waspodo, Joko Sembrono, Joko Jomenggok, dan Dhadhung Awuk.

Keraton Kidul dilengkapi dengan singgasana dan para pengawal serta prajurit yang terdiri dari Jin, Peri, Wewe, dan Tong Tong Sot. Sebagian besar penghuni Keraton Kidul berjenis kelamin perempuan. Parangkusumo dikenal sebagai tempat keramat dan wingit, karena itu orang tidak berani berlaku kurang sopan di tempat tersebut. Kanjeng Ratu Kidul merupakan ratu lelembut yang mempunyai kekuatan supranatural dan suci. Orang yang berbuat kurang sopan akan kualat (kena tulah atau mendapat bencana karena berbuat kurang sopan terhadap orang tua, lelembut, dan sebagainya). Dikatakan pula oleh juru kunci Parangkusumo bahwa “orang boleh tidak percaya, tetapi tetap harus menghormatinya dan jangan berbuat kurang ajar”.

Setiap tahun Kanjeng Ratu Kidul membutuhkan seorang wanita untuk dikawinkan dengan putranya yang bernama Gusti Ratu Aking. Mati kalap = orang mati yang disebabkan oleh prajurit lelembut, misalnya prajurit Keraton laut Selatan, karena dikersakke (dibutuhkan) untuk menjadi penghuni keratonnya atau orang mati karena melanggar pantangan di Laut Selatan. Orang yang mati kalap di pantai Parangkusumo sebenarnya tidak tau kalau di depannnya ada laut, taunya hanya jalan yang enak. Di depannya seolah-olah ada sesuatu yang menariksekali, sehingga ia terdorong untuk pergi kesana. Pada umumnya, orang yang mati kalap di pantai Selatan adalah laki-laki, karena penghuni Keraton Kidul sebagian besar adalah wanita. Warna hijau (gadhung mlati) adalah warna yang dipakai oleh penghuni keraton lelembut Laut Selatan. Orang yang memakai pakaian hijau di pantai Selatan dikira penghuni Laut Selatan oleh para prajurit Kanjeng Ratu Kidul, sehingga orang tersebut diajak masuk ke dalam keraton mereka.

Patih lebet keraton lelembut Laut Selatan adalah seorang bidadari dari Kahyangan, bernama Dewi Nawangwulan. Pada jaman dahulu ia bersama teman-temannya (sebetulnya kakak-kakaknya, mereka semua 7 bersaudari) mandi di sebuah telaga, tetapi tidak diduga-duga pakaiannya telah dicuri oleh seorang jejaka (perjaka/pemuda) yang bernama Joko Tarub. Teman-temannya bisa terbang kembali ke Kahyangan, sedangkan Dewi Nawangwulan hanya bisa menangis merenungi nasibnya. Tiba-tiba Joko Tarub muncul dari tempat persembunyiannya dengan membawa pakaian untuknya. Dengan perasaan sedih, ia mau juga memerima pakaian pemberian Joko Tarub tersebut.

Kemudian Dewi Nawangwulan diajak pulang ke rumah Joko Tarub dan akhirnya mereka berdua menjadi sepasang suami-istri yang hidup rukun. Pada suatu ketika, setelah anak-anak mereka lahir, Nawangwulan berhasil menemukan pakaiannya yang disembunyikan oleh Joko Tarub di dalam lumbung. Dengan demikian ia dapat terbang lagi sperti semula. Setelah berpamitan dan menitipkan anaknya kepada Joko Tarub, ia kembali ke Kahyangan.

Tetapi malang baginya, karena ia tidak diperkenankan menjadi penghuni Kahyangan lagi oleh dewa. Ia dipersalahkan karena telah lama berubah menjadi manusia di dunia. Akhirnya, Dewa bersabda supaya ia mengabdi saja kepada penguasa Laut Selatan, pengabdiannya diterima dan kemudian diangkat menjadi patih lebet dengan nama Nyai Riyo Kidul. Petilasan Dewi Ayu Nawangwulan berada di Bulupitu, Kutowinangun (Jawa Tengah).

Sebelum Kanjeng Ratu Kidul menjadi penguasa di Laut Selatan, di sana sudah ada rajanya. Raja tersebut berwujud raksasa putri/perempuan dan menguasai mahluk halus di Laut Selatan. Kemudian raja raksasa putri tersebut dapat dikalahkan oleh kanjeng Ratu Kidul dengan kesaktiannya yang luar biasa. Setelah mengalahkan raja sakti tersebut, Kanjeng Ratu Kidul kemudian menjadi raja di Laut Selatan menguasai mahluk halus di seluruh tanah Jawa. Raja yang telah dikalahkan tersebut kemudian diangkat menjadi patihnya, yaitu sebagai patih jawi. Diberi tugas untuk memerintah dan membawahi prajurit mahluk halus di Laut Selatan dengan sebutan Nyai Roro Kidul.

Didalam masyarakat Jawa terdapat hari-hari yang dianggap keramat, yaitu Selasa Kliwon, Jum’at Kliwon, Tahun Baru Jawa (tanggal 01 Suro / 01 Muharram menurut Arab-nya), hari weton (hari kelahiran menurut penanggalan Jawa yang berulang setiap 35 hari sekali). Khususnya pada hari Selasa Kliwon, Jum’at Kliwon, dan Tahun Baru Jawa dianggap sebagai hari yang sangat sakral, karena pada hari-hari tersebut para mahluk halus penghuni alam supranatural keluar mencari makan (makanan utamanya adalah kembang dan kemenyan) atau sesaji yang disediakan oleh manusia.

Orang Jawa mengenal pergantian hari bukan pada jam 12 tengah malam, melainkan sore hari jam 3 (15:00) sudah dihitung sebagai hari esoknya. Contohnya, Senin Wage jam 3 sore adalah sudah termasuk hari Selasa Kliwon yang disebut sebagai malam Selasa Kliwon, begitu juga dengan Kamis Wage jam 3 sore, disebut sebagai malam Jum’at Kliwon. Di dalam penanggalan Jawa terdapat perputaran waktu selama lima hari yang disebut hari pasaran (pancawara), yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Selain itu juga mengenal perputaran waktu selama tujuh hari (saptawara), yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Kedua macam hari tersebut akan bertemu dan berulang setiap 35 hari sekali. Sedangkan nama-nama bulan Jawa, yaitu Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Hapit/Legeno/Dulkangidah, dan Besar. Orang Jawa juga mengenal nama-nama tahun yang berulang atau berputar setiap delapan tahun (windu) sekali, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.

Keraton Yogyakarta mengadakan penghormatan dan hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul melalui upacara sesaji yang disebut upacara labuhan setiap tahun menurut penanggalan Jawa dan penyelenggaraan tarian sakral Bedoyo Lambang Sari dan Bedoyo Semang. Sultan secara pribadi juga melakukan semadi dan laku prihatin untuk menjalin hubungan khusus apabila dibutuhkan. Labuhan yang diselenggarakan oleh pihak keraton disebut labuh dalem, karena diselenggarakan atas kehendak raja dan para kerabat keraton untuk kepentingan rakyat dan seluruh kerajaan. Keraton Yogyakarta mengadakan labuhan di beberapa tempat, yaitu Pesisir Laut Selatan, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Kahyangan nDlepih. Di tempat-tempat tersebut berkuasa mahluk halus yang pernah berjasa dan selalu membantu kelangsungan serta ketenteraman kerajaan Mataram. Barang-barang yang dilabuh disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan mahluk halus tempat-tempat keramat tersebut (berupa perlengkapan pakaian wanita atau laki-laki).

Labuhan diselenggarakan karena tradisi turun-temurun para penguasa Jawa (Tengah dan Timur) jauh sebelum kerajaan Mataram berdiri. Berkaitan dengan janji Hajar Cemara Tunggal kepada Raden Susuruh (Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit), Sang Hajar mengatakan bahwa apabila Raden Susuruh dan keturunannya yang menjadi raja Jawa mengalami gangguan-gangguan, maka Sang Hajar akan membantu dengan segenap bala tentara lelembutnya. Salah satu bentuk hubungan manusia dengan dunia lelembut adalah dengan mengadakan upacara sesajen. Siapa saja yang menjadi raja Jawa kalau mengabaikan upacara sesajen pasti akan hancur atau mengalami guncangan-guncangan. Raja Jawa tidak akan langgeng dalam mengayomi dan melindungi rakyatnya jika tidak memohon perlindungan penguasa alam supranatural. Tanpa adanya upacara sesaji, maka malapetaka dan gangguan-gangguan alam akan muncul dan menimpa kerajaan serta rakyatnya karena kemarahan penguasa alam supranatural ataupun para pengikutnya. Para penguasa mahluk halus tersebut akan mengirim bala tentaranya untuk menyebarkan penyakit dan berbagai macam musibah bagi seluruh kerajaan dan rakyatnya apabila kebiasaan-kebiasaan labuhan yang diselenggarakan oleh pihak keraton dihilangkan.

Upacara labuhan dimaksudkan untuk memberi sesajen kepada mahluk halus penguasa tempat-tempat di sekeliling kerajaan. Dalam siklus kehidupannya, manusia harus selalu memperbaharui hubungan-hubungan dengan alam supranatural untuk mencapai keselamatan dan ketenteraman hidup. Upacara sesaji rutin yang diselenggarakan oleh pihak Keraton Yogyakarta diberikan kepada Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Kyai Sapujagad sebagai penguasa di Gunung Merapi, Kanjeng Sunan Lawu sebagai penguasa di Gunung Lawu, dan setiap delapan tahun sekali atau di waktu tumbuk (bertemu; dalam tahun Jawa setiap 8 tahun sekali tanggal, hari, pasaran, bulan, dan tahun bertemu kembali) juga kepada Sang Hyang Pramoni sebagai penguasa Kahyangan nDlepih.
Keempat tempat tersebut digunakan sebagai tempat dalam memperoleh wisik dan tempat untuk berhubungan dengan mahluk halus alam supranatural oleh para pendahulu kerajaan, yaitu Panembahan Senopati dan Pangeran Mangkubumi. Selain itu, labuhan di Gunung Lawu dimaksudkan untuk menghormati dan menjalin hubungan dengan leluhur kerajaan Kasultanan Yogyakarta. Penguasa Gunung Lawu sebenarnya adalah raja Majapahit yang bernama Prabu Brawijaya, yang melarikan diri dan kemudian menjadi seorang pertapa di puncak Gunung Lawu. Setelah meninggal dunia, roh-nya menjadi penguasa mahluk halus di gunung tersebut.




LUKISAN-LUKISAN YANG DIYAKINI SEBAGAI RATU PANTAI SELATAN
















































































Gambar terkait

Gambar terkait

Gambar terkait

Gambar terkait

Gambar terkait

Hasil gambar untuk nyi roro kidul

Gambar terkait


Gambar terkait

Gambar terkait

Hasil gambar untuk nyi roro kidul

Gambar terkait

Gambar terkait

Gambar terkait

Gambar terkait

Hasil gambar untuk nyi roro kidul

Gambar terkait

Gambar terkait

Gambar terkait

Hasil gambar untuk nyi roro kidul

Hasil gambar untuk nyi roro kidul

Gambar terkait

Gambar terkait

Hasil gambar untuk nyi roro kidul














































































Gambar terkait

Gambar terkait



Sumber : dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar