Selamat Datang

Selasa, 19 Juni 2012

FIQIH

Hukum Asal Zakat Profesi


Zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil.
Para ulama' Dari berbagai mazhab telah menyatakan:

الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ

"Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang." 

Berdasarkan kaedah ini, para ulama' menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyari'atkannya. 
Bila tidak, maka amalan itu terlarang atau tercakup dalam amalan bid'ah:

مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم

"Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak." [Riwayat Muslim]
Berikut, fatwa ulama kontemporer yang menyatakan bahwa tidak ada pengkhususan yang bernama ZAKAT PROFESI adalah:
1. Syaikh Bin Baaz –rahimahullah- berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati.” (Maqalaat Al-Mutanawwi’ah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178).
2. Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia: 
“Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. 
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. 
Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dengan dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul).” 
(Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360).
Silakan rujuk link dibawah ini utk penjelasan lebih detail mengenai bahasan bahwa bid’ahnya zakat PROFESI, semoga bermanfaat.
http://almanhaj.or.id/content/2525/slash/0


Selama 14 Abad Tidak ada Ulama yang Menfatwakan ZAKAT PROFESI

Abu MaLik Bismillah…

Pendapat ulama yang menyatakan tidak wajibnya zakat profesi
DR. Al-Yazid bin Muhammad Ar-Radhi dalam bukunya yang berjudul Zakat Rawatibil Muwazhafina wa Kasbil Mihan Al-Hurrah yang diberi pengantar oleh Prof. DR. Mubarak Muttaqi telah menjelaskan panjang lebar akan KELEMAHAN HUJJAH yg dijadikan DALIL oleh pendapat yang menyatakan kewajiban zakat profesi.
Di antara hujjah yang dijadikan pijakan oleh ulama yang menolak kewajiban zakat profesi adalah sebagai berikut:

1. Bahwa para ulama telah bersepakat akan pensyaratan haul (putaran satu tahun) atas kewajiban zakat atas hasil profesi seseorang. Sehingga menyatakan bahwa zakat profesi tidak disyaratkan haul atasnya merupakan pendapat yang cacat berdasarkan dalil-dalil yang shahih.

2. Mereka yang mewajibkan zakat profesi mengqiyaskan (menganalogikan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara
keduanya. 
Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan (mengeluarkan) biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh), bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), bagi profesi yang membutuhkan modal, tentu ini sangat memberatkan, dan mereka yang mewajibkan zakat profesi pastinya tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini. Jadi qiyas syibh untuk zakat profesi yaitu menganalogikan nishabnya kepada zakat pertanian dan qadar zakatnya kepada zakat emas dan perak adalah analogi yang syadz (cacat).

3. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan kepada zakat emas dan perak (baik nishabnya maupun qadarnya), karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.

4. Mereka yang memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma’/kesepakatan ulama’ selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.

5. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:

a. Shahabat Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu iapun diberi upah oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pada awalnya, shahabat Umar –radhiallahu ‘anhu- menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” (HR. Muslim)

b. Seusai shahabat Abu Bakar –radhiallahu ‘anhu- dibai’at untuk menjabat khalifah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Khaththab –radhiallahu ‘anhu-, maka Umar pun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umar pun menjawab: “Kami akan meberimu (gaji) secukupmu.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Al-Baihaqi).
Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan pengakuan shahabat Abu Bakar –radhiallahu ‘anhu- tentang hal ini:
لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه
“Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (HR. Al-Bukhari)

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama’ yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. 
Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).
Semoga bermanfaat.

Untuk download silahkan klik di bawah ini : 
 Zakat Profesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar